Selamat Datang di Blogsite KPO PRP Samarinda.

Selasa, 22 Januari 2008

Bagaimana Seharusnya Masyarakat Memilih Pemimpin?

(Disadur Dari Harian Tribun Kaltim)

Oleh : Herdiansyah “Castro” Hamzah
Anggota PRP Komite Kota Persiapan Samarinda

Pengantar

Tinggal menghitung bulan sebelum momentum elektoral (baca ; Pemilihan Kepala Daerah langsung - PILKADAL) Propinsi Kalimantan Timur akan digelar pada tahun 2008 nanti, namun hiruk pikuk dan keramaiaan aktivitas kampanye menarik dukungan masyarakat oleh para bakal calon Gubernur, sudah begitu tajam menggema diseluruh pelosok-pelosok daerah disemua Kabupaten/Kota yang ada di Kalimantan Timur. Soroton media lokal dan nasional mengenai Calon yang layak dan diinginkan masyarakat, menjadi buah bibir sehari-hari. Pemberitaan media tersebut begitu laris manis dikonsumsi oleh masyarakat bak pohon kering yang mendapatkan air hujan di tengah musim kemarau. Berita tentang PILKADAL inipun, begitu menyedot perhatian masyarakat, jauh melebihi berita apapun.

Sejatinya, Demokrasi hanya akan berjalan dengan baik pada koridor sesungguhnya dengan dua syarat, Pertama, bahwa masyarakat mengerti akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, Kedua, bahwa masyarakat mampu mempertahankan dan berjuang menjaga hak dan kewajibannya tersebut. Jika kedua hal tersebut belum mampu direalisasikan, maka demokrasi tinggal asumsi dan wacana (discourse) belaka. Panggung Politik electoral (Baca ; PILKADAL), merupakan salah satu media bagaimana seharusnya masyarakat belajar berdemokrasi, belajar bagaimana seharusnya meneropong calon pemimpin yang akan mengakomodasi kepentingannya, bukan sekedar memilih karena keluarga, teman, atau karena iming-iming janji harta, jabatan dan kekayaan.

Secara prinsip, tujuan utama dari sebuah hajatan pemilihan kepala pemerintahan, bukanlah sekedar memilih orang (personality) saja, namun bagaimana mengatasi dan menyelesaikan persoalan (Problem Solving) yang dihadapi oleh daerah melalui media kepala pemerintahan daerah atau Gubernur, dan bagaimana berupaya sekeras-kerasnya untuk membangun daerah disegala bidang, agar dikemudian hari mampu memberikan kesejahteraan sepenuhnya bagi seluruh warga masyarakat. Namun bagaimana seharusnya masyarakat bersikap agar tidak salah dalam memilih calon pemimpin Kalimantan Timur selama 5 (Lima) tahun kedepan? Mari kita jawab dengan beberapa faktor-faktor berikut ini, yang harus kita nilai dari seorang calon pemimpin.

Kriteria

Kriteria yang dimaksud disini adalah patokan-patokan dasar yang mnejadi tolak ukur bagi kita untuk menilai kesanggupan seseorang untuk memimpin dan membawahi masyarakat. Patokan dasar tersebut terdiri atas ; kemampuan berpikir (intellectual ability), kemampuan dalam menganalisa (ability to analyze), dan kemampuan dalam bertindak (ability to take steps). Inilah tiga kriteria kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.

Tiga hal tersebut di atas, merupakan kunci dasar bagaimana seorang pemimpin mampu mengakomodir kepentingan-kepentingan masyarakat. Seorang pemimpin yang baik, adalah pemimpin yang tidak sekedar mengandalkan kemampuan pikirannya, yang terkadang mengarah kepada “text book thinkers”. Namun pikiran itu harus dipadukan dengan daya analisa yang matang dengan mengakhirinya dengan sebuah tindakan nyata. Kemampuan analisa seseorang, akan menjadikannya paham dengan objek yang dipikirkan, dengan mengutarakan baik-buruknya tindakan, besar-kecilnya resiko, serta kelemahan-kelemahan kebijakan yang akan diambil nantinya.

Tong Kosong”, demikian maxim (ujar-ujar) para founding fathers Negara kita. Istilah ini ditujukan kepada orang-orang yang hanya memiliki omongan besar (baca ; janji-janji belaka), namun tidak pernah mampu mengimplementasikannya secara kongkrit bagi tahapan pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Gelar tersebut, memang terasa sangat pantas bagi sebahagian besar elit politik kita hari ini. Betapa tidak, hampir seluruh janji-janji yang diumbar semasa kampanye dahulu, hingga kini belum menampakkan batang hidungnya. Kemakmuran, kesejahteraan, kesetaraan serta ketentraman masyarakat, tak lebih dari isapan jempol belaka, bagaikan mimpi disiang bolong.

Masyarakat harusnya lebih dewasa dan cerdas memilih pemimpin yang betul-betul memiliki kepekaan krisis social (sense of social crisis), dalam arti bahwa pemimpin yang harus kita pilih adalah pemimpin yang memiliki kecerdasan intelektual, daya alalisis yang kuat terhadap problem-problem social, serta mampu mewujudkan secara nyata keinginan-keinginan masyarakat secara utuh.

Program

Program merupakan bentuk nyata dari perencanaan matang (the ripe planing) dari hasil olahan pemikiran. program menjadi begitu sangat berharga jika memenuhi koridor-koridor yang disyaratkan, yakni : Pertama, program harus realistis, dan tidak mengada-ada. Hal ini dimaksudkan agar program yang ditawarkan untuk dikerjakan mampu terwujud dengan kemampuan subjektif yang dimiliki. Program yang terkesan mengada-ada dan tidak bersandar kepada kemampuan, hanya akan menjadi barang usang yang tidak akan pernah menjadi kenyataan. Kedua, program harus memiliki target/batas waktu (deadline). Hal ini akan menjadi tolak ukur keberhasilan serta kekurangan dari implementasi dari sebuah pelaksanaan program. Tanpa target waktu realisasi, maka kita akan sangat sulit mengukur sejauh mana efektifitas dari sebuah program. Ketiga, program yang ditawarkan harus berbasis kepada kepentingan masyarakat (Populism programs). Pengalaman memberikan pelajaran penting bagi kita, bahwa hampir rata-rata institusi pemerintahan bak eksekutif, legislative maupun yudikatif, selalu menelorkan program yang cenderung berbasis kepada kepentingan kelompok dan golongannya semata. Hal ini justru menjadikan masyarakat semakin miris dan kehilangan kepercayaan (loose of expectation) dan menarik dukungannya terhadap para elit politik.

Rekam Jejak (Track Record)

Rekam jejak atau sejarah perjalanan seseorang, begitu berharga dalam proses penilaian kita. Hal ini menjadi salah satu barometer apakah seseorang layak untuk kita pilih sebagai seorang pemimpin. Jikalau seseorang tidak pernah memiliki catatan hidup yang kelam seperti korupsi, tindak pidana, genocide, atau hal-hal yang melanggar sisi kemanusiaan, maka adalah wajar untuk menjadikannya seorang pemimpin. Jika kita berkaca pada sejumlah PILKADAL di beberapa daerah lain di Indonesia, maka kita akan menemukan fakta buruk bahwa terdapat beberapa calon Gubernur/Bupati yang memiliki track record jelek dan buruk, tapi tetap dipilih oleh masyarakat. Ini tentunya menjadi bahan evaluasi bagi masyarakat kita untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Hal tersebut di atas tidaklah cukup, seseorang yang patut untuk dijadikan pemimpin juga harus memiliki catatan hidup dari sisi keberhasilan untuk mewujudkan sesuatu, entah keberhasilan dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat, atau keberhasilan dalam membangun Negara dan bangsa. Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang paling pertama menangis dalam kesusahan, dan yang tertawa paling akhir disaat kesenangan menghampiri.

Ketiga faktor tersebut di atas inilah yang seharusnya menjadi penilaian bagi masyarakat untuk memilih pemimpinnya sendiri. Sudah saatnya masyarakat berpikir dan bertindak dengan pendekatan dengan menggunakan pikiran dan pemahaman (rasionalitas), bukan lagi dengan cara pendekatan kedaerahan (primordial) dan kedekatan (nepotism), yang lebih mengutamakan kedekatan, pertemanan serta tipu daya serta janji dari seseorang.

Samarinda, 23 Januari 2008

Baca Lebih Lanjut....

Kenaikan Harga Minyak Dunia ; Keuntungan Atau Kerugian ?

(Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Harian Tribun Kaltim)

Oleh : Herdiansyah "Castro" Hamzah

Anggota PRP Komite Kota Persiapan Samarinda

Disaat harga minyak mentah dunia melonjak naik,
apakah negara kita akan menuai hasil dan keuntungan? Seharusnya, iya!
Sebab Negara kita, adalah Negara penghasil dan peng-ekspor minyak dunia.
Tapi mengapa kita justru
rugi dan tak berkutik manakala harga minyak dunia
melambung naik
? Sungguh aneh bin ajaib!

Indonesia pernah mengalami masa keemasan pada tingkat produktivitas hasil minyak pada era tahun 80-an. Era ini juga sering kita sebut sebagai “zaman bonanza minyak”, yang belakangan hari memunculkan orang kaya-orang kaya baru di Negara kita. Indonesia yang pada saat itu menjadi salah satu negara penghasil minyak dunia, mampu menikmati keuntungan secara maksimal ketika terjadi gejolak kenaikan harga minyak mentah dunia. Walhasil, Indonesia-pun memanen harga dari hasil produksi minyak nasional kita. Namun seiring dengan waktu, zaman keemasan ini telah berakhir, dan kini yang tertinggal hanya cerita usang yang sama sekali tak patut kita banggakan.

Kenyataan ini sangat berbeda dengan kondisi sekarang, dimana disaat harga minyak dunia melambung naik, Negara kita justru berada dalam posisi kepanikan yang sungguh luar biasa. Berbagai macam carapun dilakukan untuk mengantisipasi, dimulai dari penyesuaian tarif harga minyak nasional melalui pengurangan sampai pencabutan subsidi social (BBM, TDL, Listrik, Telpon dll), perombakan APBN melalui penetapan APBN Perubahan, hingga program konversi energy-pun kini giat dilakukan oleh pemerintah demi mengatasi krisis minyak ini. Sungguh sebuah kondisi yang sangat memprihatinkan bagi sebuah Negara yang hinga saat ini masih terdaftar sebagai salah satu produsen minyak dunia yang tergabung dalam OPEC.

Lebih parahnya lagi, Negara kita telah mengalami presentase angka ekspor-impor minyak yang sudah hampir sebanding. Kenaikan harga minyak mentah dunia, tentu akan memicu tingkat pengeluaran Negara untuk menutupi angka impor minyak yang dilakukan. Akibatnya kemudian, defisit keuangan negara serta krisis nasional dalam bentuk inflasi dan ketidakstabilan harga-harga domestik terutama komoditas bahan pokok, akan semakin membebani Negara dan terutama masyarakat kita.

Harga minyak mentah dunia, yang hingga saat ini telah menembus kisaran angka tertinggi, yakni 83,32 dollar per barel-nya (angka ini diperkirakan akan terus melonjak naik), tidak bisa dipungkiri, telah menimbulkan kegoncangan ekonomi diseluruh belahan dunia, termasuk Indonesia sendiri (Sumber;Tribun Kaltim, 22 Sepetmber 2007). Sebenarnya apa yang mengakibatkan semakin melambung tingginya harga minyak dunia? Apakah betul cadangan minyak dunia yang semakin menipis, ataukan ada variable lain yang memicu kenaikan harga minyak secara drastis tersebut?

1. Krisis Ekonomi Negara-negara Maju

Lonjakan harga minyak dunia dalam kurun waktu 1 (satu) dasawarsa belakangan ini, memang sangat mencengangkan. Salah faktor penyebabnya adalah, ketidakstabilan ekonomi yang terjadi dinegara-negara maju yang notabene merupakan induk perputaran roda industry dan perdagangan dunia. Terjadinya krisis dan skandal keuangan dibeberapa perusahaan-perusahaan besar di Amerika seperti, Enron (perusahaan listrik terbesar ke-2), Xerox (perusahaan industry penghasil mesin cetak terbesar), Inclome (perusahaan farmasi) dll, jelas menjadi pertanda kuat, bahwa telah terjadi colaps ekonomi di Negara tersebut. Hal ini berarti, akan meledaknya krisis ekonomi secara global dengan menimbulkan “efek domain” kepada Negara-negara lainnya.

Salah satu fakta, bahwa krisis dinegara-negara maju, terutama Amerika tengah berlangsung, adalah dikeluarkannya kebijakan ekonomi-politik represif. Tengok saja bagimana Amerika begiru agresif memberlakukan kebijakan standar ganda dengan mengambil langkah politik militer terhadap beberapa Negara. Invasi dan perang di Afganistan dan Irak, merupakan bukti nyata ambisi Amerika dan sekutunya untuk menguasai perekonomian dunia dengan kedok dan topeng “terorisme”. Atas nama keamanan, alasan terorisme-pun dijadikan alat untuk menekan, menguasai dan menjarah negeri lain. Lebih lucunya lagi, Negara-negara yang lain-pun termakan dengan jargon dan kampanye terorisme tersebut. Latar belakang apa yang menyebabkan kebijakan invasi dan perang ini?. Krisis perusahaan-perusahaan besar dinegara-negara maju terutama Amerika, tentu membutuhkan lahan pasar yang baru untuk menjaga intensitas pemasaran produksinya kembali. Pembenaran strategi ini adalah ; semakin banyak peperangan yang diciptakan, maka semakin banyak pula peralatan tempur yang dibutuhkan. Hal ini sama persis dengan pandangan sempit yang mengatakan bahwa, “obat tidak akan pernah berguna jika tak ada orang sakit, maka strategi menciptakan kesakitan dimana-mana harus senantiasa diciptakan guna membuat obat itu laris dan terpakai”. Begitu pula strategi yang dilakukan oleh Negara-negara maju. Semakin banyak perang dan penderitaan yang diakibatkan, maka semakin laris pasaran industri senjata, farmasi, teknologi dll dari Negara-negara tersebut.

2. Ketidakstabilan Politik dinegara-negara penghasil minyak

Kenaikan harga minyak mentah dunia, tentu merupakan perkara yang rumit dan berat. Mengapa tidak, hal ini akan semakin mengakibatkan kegoncangan ekonomi (Economic shock) bagi lalu lintas perdagangan dunia. Faktor lain penyebab melambungnya harga minyak dunia adalah ketidakstabilan politik di Negara-negara pengahasil minyak, terutama di daratan timur tengah. Hal ini juga diakibatkan oleh agresi militer serta tekanan politik dari Negara-negara maju yang dipelopiri oleh Negara adidaya, Amerika Serikat. Belum habis cerita soal Afganistan dan Irak yang hingga saat ini terus mengalami krisis politik, kini mata dunia dipertontonkan perseteruan antara Amerika dan Iran soal nuklir yang tak habis-habisnya. Belum lagi upaya Amerika untuk terus menekan Venezuela (Negara penghasil minyak terbesar keempat dunia) dengan upaya menggungcang pemerintahan Chavez hingga kini, yang secara tegas menolak kebijakan ekonomi pasar bebas Amerika. Ketidakstabilan politik dari Negara-negara penghasil minyak dunia inilah salah satu penyebab mengapa harga minyak dunia terus melambung tinggi tak terkendali.

3. Faktor Musim & Aksi Borong Minyak dari Negara-negara Industri Baru.

Penyebab lain dari tingginya harga minyak dunia adalah faktor musim dingin yang terjadi di benua amerika dan eropa. Pergantian musim ini tentunya akan memaksa Negara-negara tersebut untuk menambah cadangan persedian minyaknya untuk menghadapi musim dingin yang kemungkinan akan berlangsung lama. Faktanya, Amerika saja merupakan Negara terbesar yang menguasai hampir 50 % pemakaian minyak dunia. Ditambah lagi badai yang terus menyerang Teluk Meksiko beberapa tahun belakangan ini.

Disamping itu, kenaikan harga minyak dunia juga dipicu oleh aksi borong dan mopopoli transasksi pembelian yang dilakukan oleh Negara-negara industri yang berkembang pesat seperti Cina dan india. Hal tersebut menimbulkan ketidakseimbangan distribusi minyak secara merata. Arus Minyak-pun menjadi milik Negara-negara maju ini secara dominan.

Bagaimana dengan Indonesia?

Seperti yang telah saya sebutkan dari awal, bahwa Indonesia, meski merupakan Negara peng-ekspor minyak, namun kita justru rugi dan tak berkutik manakala harga minyak dunia melambung naik. Kenapa demikian?. Pertama, bahwa tingkat produksi minyak dalam negeri kita, memang semakin meurun. Penurunan ini bukan karena cadangan minyak Negara kita yang semakin menepis, seperti pembenaran yang dilakukan oleh beberapa pakar. Penurunan yang terjadi, adalah akibat semakin disingkirkannya peran perusahaan Negara (Baca;PERTAMINA) dalam mengelola asset minyak nasional kita. Hal ini Nampak nyata melalui legalisasi peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah, melalui Undang-undang Migas No.22 Tahun 2001. Undang-undang tersebut telah memberikan kemudahan dan keleluasaan bagi Corporate swasta/asing untuk melakukan kegiatan eksplorasi, eksploitasi, hingga perdagangan minyak secara terbuka. Jikalau dulu, pihak corporate swasta/asing hanya diperbolehkan berada dalam jalur aktivitas sector hulu perminyakan kita, maka sejak ditetapkannya UU Migas tersebut, maka sector hilir telah diperbolehkan dikelola oleh perusahaan diluar PERTAMINA. Dan ini semua akibat ketegasan pemerintah untuk menjaga dan merawat asset minyak nasional kita dengan baik.

Dengan melihat kondisi tersebut di atas, maka adalah hal yang tak mengherankan jika tingkat produksi serta nilai volume ekspor minyak kita semakin menurun. PERTAMINA bukan lagi perusahaan tunggal yang mengelola asset minyak nasional kita, namun dominasi corporate asing/swasta kini menjadi ancaman bagi Negara kita. Kalau demikian adanya, memang kita tidak akan menikmati apa-apa ketika harga minyak dunia meningkat.

Samarinda 22 Januari 2008

Baca Lebih Lanjut....

Tanggung Jawab Kaum Intelektual Dalam Pilkada

(Sebuah Refleksi Menjelang PILKADA Gubernur Kal-Tim 26 Mei 2008)

(Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Harian Tribun Kaltim)

Oleh : Herdiansyah "Castro" Hamzah
Anggota PRP Komite Kota Persiapan Samarinda

"Seribu pahlawan bisa lahir dan mati dalam satu hari di negeri ini.
Tetapi tak seorang pun ada yang peduli di tanah air kita ini.
Dulu dalam kegelapan, seekor kunang-kunang pun bisa menjadi bintang.
Sekarang bintang-bintang yang lahir malah dipadamkan".
(Pramoedya Ananta Toer)

Kaum intelektual merupakan redefinisi dari golongan terpelajar, yang tentunya memiliki kemampuan daya pikir, analisa dan pengetahuan lebih dibandingkan dengan golongan/kelompok masyarakat lainnya. Kemampuan tersebut bukan dikarenakan kecerdasan bawaan sejak lahir, atau kecerdasan IQ di atas rata-rata yang mereka miliki, namun waktu luang lebihlah yang menjadikan kaum intelektual dapat mengasah dan mendalami pengetahuan seputar problem-problem yang terjadi di tengah masyarakat luas. Kaum intelektual bukanlah sekedar manusia yang memiliki ilmu pengetahuan berdasarkan buku-buku, manuscript atau referensi lainnya yang mereka miliki. Namun lebih dari itu, kaum intelektual merupakan pelopor (vanguard) bagi perubahan social yang senantiasa mampu mengejahwantahkan buah pemikirannya secara nyata demi kepentingan masyarakat. Edward Shils dalam Encyclopedia of the Social Sciences, mendefinsikan kaum intelektual sebagai kumpulan orang-orang dalam suatu masyarakat yang menggunakan simbol-simbol umum dan referensi abstrak mengenai manusia, masyarakat, alam, dan kosmos dalam komunikasi dan ekspresi mereka dengan frekuensi yang lebih tinggi dari sebagian besar anggota masyarakat lain.

Dewasa ini, kaum intelektual semakin berjamuran dimana-mana seiring dengan ruang demokrasi yang mulai terbangun pasca Reformasi lalu. Namun tak sedikit para intelektual bersikap passif terhadap realitas social yang ada. Kecenderungan ini muncul akibat kebingungan terhadap apa dan bagaimana mereka harus bersikap. Hal ini justru semakin membuat sebahagian kaum intelektual menjadi semakin apatis dengan keadaan, bahkan luluh terhadap pengetahuan yang mereka miliki sendiri. Tulisan ini mencoba sedikit memberikan sumbangsih pemikiran untuk kembali membangkitkan tradisi intelektual, khususnya di Kalimantan Timur, dengan harapan akan lebih mampu membangun polemic berwacana terutama bagi kalangan muda di daerah ini.

Membangun Tradisi Intelektual

Jas Merah, “jangan sekali-sekali meluapakan sejarah”, demikian ungkapan tersohor dari founding fathers Bangsa Indonesia, Soekarno. Makna tersirat yang mengajarkan kepada kita bahwa sejarah bukan sekedar ditulis dan menjadi pajangan, sejarah bukan pula catatan perjalanan untuk sekedar beromantisme belaka, namun sejarah merupakan alat dalam bentuk pengalaman yang akan kita gunakan untuk bertindak dan berbuat dimasa depan. Sejarah akan menjadi cara yang ampuh untuk menutup lubang kosong kegagalan yang telah kita toreh. Manusia yang tidak memiliki sejarah, maka iapun tidak akan pernah melangkah kepada masa depannya. Dalam perjalanan kemerdekaan Indonesia, maka kita akan menemukan arti penting dari kaum intelektual (ketika itu tersimbolisasi pada kaum priyayi berpenddikan), dalam membawa Bangsa ini melepaskan diri dari penjajahan serta penindasan selama tiga setengah abad oleh colonial. Referensi sejarah Bangsa Indonesia, telah menempatkan kaum intelektual, yang ketika itu diwakili oleh kalangan muda dalam bingkai perubahan. Dimulai dari gerakan maju dizaman politik etis pada awal tahun 1900-an, gerakan pesatuan pemuda dalam Kongres pemuda Boedi Utoemo (pesatuan kalangan muda dari joung Java, joung Sumatera, joung Borneo, Jong Celebes dll) tahun 1928, hingga sikap berani para kelompok anak muda, “Pemuda Menteng” yang telah berani menculik dan memaksa Soekarno untuk membacakan Manifest deklarasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 (Baca ; Takashi Shirashi dalam “Zaman Bergerak”). Dari rekam jejak sejarah perjalanan Bangsa Indonesia, kaum intelektual memang selalu mengambil peran penting di dalamnya, baik secara langsung mampun tidak.

Tradisi intelektual yang memposisi diri sebagai pemantik ledakan peruabahan masih berlanjut pada periode-periode perjalanan sejarah Indonesia hingga meletusnya peristiwa Reformasi tahun 1998. Namun pasca itu, kalangan intelektual menjadi kebingungan terhadap kondisi dan situasi yang ada. Tuntutan masyarakat akan perbaikan nasib, demokratisasi dan kesejahteraan, menjadi sebuah mimpi yang tak mampu dikawal dengan baik oleh kaum intelektual negeri ini. Polemik wacana dan perdebatan-pun semakin jarang terdengar. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi intelektual yang penuh dengan dinamika semakin menghilang. Salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah tekanan dari system politik kekuasaan yang terlampau berlebihan menanggapi sikap kritis dari kaum intelektual kita (sebagaian kaum intelektual malah tak luput dari jebakan iming-iming materi, posisi dan jabatan yang disodorkan kepadanya). Sikap kritis, protes dan perbedaan pandangan yang dilontarkan, terkadang dianggap membahayakan stabilitas dan mengancam posisi politik mereka yang berkuasa. Ancaman, terror, intimidasi telah menjadi hantu menakutkan bagi mereka berani mengkritik. Namun itu merupakan konsekuensi perjalanan intelektualitas yang harus kita tanggung. Takut dan menyerah dengan keadaan, sama halnya dengan membunuh hati nurani kemanusiaan serta kebenaran yang kita yakini. Tradisi inilah yang harus kita bangkitkan kembali. Tradisi intelektual yang selalu melahirkan ide-ide perubahan dan kemaslahatan bagi masyarakat yang kian merindukan perbaikan kondisi, nasib dan masa sepan mereka.

Re-Posisi Peran Kaum Intelektual

Dalam teori social-politik, terdapat sebuah anekdot yang menggelikan namun sangat nyata dialami oleh masyarakat kita hari ini. “Membiasakan masyarakat untuk merasa nyaman dan tentram dengan penindasan serta ketidakadilan yang mereka alami”. Demikian teori kekuasaan otoritarian yang telah menjadi fakta dalam konteks politik Negara Indonesia yang sedang berlaku. Ini merupakan cirri masyarakat terbelakang, yang berada di luar pemahaman dan kesadaran sejatinya akan hak dan kepentingannya. Hal tersebut merupakan perwujudan dari otoritas penguasa yang dengan sengaja membangun kesadaran palsu (Pseudo Ideology) kepada rakyatnya. Meminjam istilah Antonio Gramsci, inilah yang disebut dengan “HEGEMONI”. Hegemoni kekuasaan, atau secara sederhana penulis artikan, “membuat yang ditindas merasa senang dan bahagia ditindas”, menjadi problem utama dalam kehidupan social masyarakat kita. Atau dengan kata lain, mengapa mereka yang tertindas justru merasa senang dan bahagia dalam ketertindasannya?. Ada sebuah paradoks tersirat dalam kata-kata ini. Dalam suatu negara yang pemerintahannya telah tercium segala kebusukannya, baik korupsi, kolusi, pemerkosaan atas hak-hak rakyatnya dan sederet lagi masalah kebobrokan, tetapi rakyatnya tidak berontak, sungguh menimbulkan pertanyaan besar dalam benak yang memikirkannya. Dalam pandangan Gramsci, hegemoni kekuasaan yang dijalankan oleh alat-alat penguasa dengan jitu dan jeli bisa membuat rakyat yang ada dalam kuasanya merasa tentram, dan aman dalam penindasannya. Dengan kata lain, hegemoni adalah suatu sistem pemerintahan yang dengan sengaja membuat kekuasaan berwajah tidak menakutkan bahkan tampak alim dan begitu familiar di mata rakyatnya. Gerakan hegemonisasi itulah yang bisa membikin masyarakat, baik yang duduk dalam stratifikasi sosial yang tinggi maupun rendah, terbius, dan tenggelam dalam rasa aman dan bahagia, namun dibaliknya mengandung begitu besar rasa ketidakadilan.

Noam Chomsky dalam The Responsibility of Intellectuals, menjelaskan bahwa kaum intelektual berperan dan berkewajiban untuk mengungkap kebohongan-kebohongan penguasa/pemerintah, menganalisis tindakan-tindakan berdasar pada penyebab-penyebab dan motif-motif yang pada tujuan-tujuan tersembunyi. Kaum intelektual memilik tanggung jawab untuk bergerak,mendata dan mengungkap suatu titik kebenaran dari kejadian-kejadian yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Baik kejadian yang disebabkan oleh penguasa, maupu kejadian-kejadian yang menyangkut penelitian dan pengembangan kehidupan manusia.

Kesengsaraan dalam wujud kemiskinan, keterbelakangan, diskriminasi, marginalisasi serta ketidakadilan ekonomi,social dan politik, adalah deretan panjang persoalan yang harus kita cari jalan keluarnya. Paling tidak, upaya membuka mata dan telinga akan bentuk penindasan yang dialami oleh masyarakat harus dilakukan tanpa meimbang-nimbang resiko yang akan dihadapi. Disinilah peran dan tanggung jawab kaum intelektual untuk memecah kebuntuan tersebut. Dengan bekal pemikiran dan daya analisa yang lebih, kaum intelektual harus mampu mendobrak moralitas semu serta kebohongan-kebohongan penguasa yang selama ini berwajah manis, namun garang dan menakutkan dalam hati dan pikirannya.

Menempatkan Peran Kaum Intelektual dalam Konteks PILKADA

Kaum intelektual memang sangat dituntut menguji peran dan tanggung jawabnya dalam menginjeksi kesadaran masayarakat. Salah satunya adalah fungsi untuk membangun kerangka pikir serta landasan pemahaman akan pilihan tindakan terbaik bagi masyarakat. Kaum intelektual tidak sekedar menjadi penyimak setia ibarat penonton dalam pertandingan sepakbola, namun kaum intelektual terutama akademisi, tokoh adat/masyarakat, mahasiswa dll, seharusnya mampu menjadi martil perubahan dalam konotasi social. Mendiamkan diri dalam kubangan pemikiran sendiri (intellectual exclusive thingkers), sama halnya dengan membunuh jiwa kemanusiaan serta peran yang wajib dilakukan oleh kaum intelektual di tengah hiruk pikuknya hajatan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (PILKADAL).

Sebagian besar kaum intelektual Indonesia, memilih untuk terlibat secara praktis dalam percaturan politik. Ini fakta empiris yang sebenarnya sah-sah saja. Namun perlu kita ketahui mengenai motif dan kepentingan apa yang mereka bawa. Secara prinsip, kaum intelektual seharusnya tidak boleh melepaskan jubah intelektualitasnya yang tetap berkewajiban menjelaskan, menyampaikan dan memberi pengetahuan kepada masyarakat luas tentang kebenaran sesuai dengan koridor filosofi keadilan yang ada, kapanpun dan dimanapun ia berada, termasuk keterlibatannya dalam politik praktis. James Petras dalam "Role of the Intellectuals in social change", menyebutkan bahwa kaum Intelektual memiliki posisi dan peran yang sangat penting dalam konteks politik karena ; (1) mempengaruhi pemimpin-pemimpin dan militan-militan partai, gerakan sosial, dan politisasi kelas sosial; (2) melegitimasi dan mempropagandakan secara halus sebuah rejim, kepemimpinan, atau gerakan politik; (3) menyediakan diagnosa atas masalah ekonomi, politik negara, kebijakan, dan strategi-strategi imperialis: (4) menguraikan solusi-solusi, strategi-strategi politik, dan program-program bagi rejim, gerakan, dan para pemimpin; dan (5) mengorganisasi serta berpartisipasi dalam pendidikan politik partai atau aktivis gerakan. Dari hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa, meskipun kaum intelektual tidak memiliki massa/pengikut secara langsung, namun kaum intelektual mampu mempengaruhi opini dan pandangan-pandangan masyarakat terhadap suatu kejadian. Secara teoritik, opini dan isulah yang akan mampu menggerakkan kehendak serta keinginan massa, namun bukan berarti kita harus menafikan charisma atau ketokohan seorang pemimpin.

Pemilihan kepala daerah yang akan berlangsung di Kalimantan Timur awal tahun 2008 nanti, harus dijadikan sebagai momentum bagi kaum intelektual untuk mengambil peran signifikan dengan membangun opini kepada masyarakat (Public Opinion) mengenai pilihan-pilihan yang benar yang harus diambil. Ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh kaum intelektual dalam momentum PILKADA tersebut, antara lain : Pertama, kaum intelektual harus lebih pro-aktif dalam mengkampanyekan kebohongan-kebohongan pemimpin yang dinilai telah gagal dalam memperbaiki kehidupan masyarakat. Kebohongan ini mencakup kebijakan anti-rakyat, praktek korupsi, serta prilaku bobrok elit yang sama sekali tidak meletakkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan segala-galanya. Kedua, kaum intelektual harus lebih mampu memberikan analisa terhadap kemungkinan-kemungkinan masalah yang akan dihadapi daerah serta solusi-solusi kongkrit penyelesaiaan. Hal tersebut mencakup program-program yang para kandidat yang sifatnya harus didorong agar lebih populis dalam makna betul-betul menjadi jalan keluar perubahan masyarakat kearah yang lebih baik. Ketiga, kaum intelektual harus mampu membangun tradisi bedemokrasi yang baik bagi masyarakat Kaltim. Sepanjang hajatan PILKADA digelar di Indonesia sejak tahun 2005 lalu, begitu banyak kasus kerusuhan yang terjadi akibat pola dan system demokrasi yang belum dipahami dengan baik oleh masyarakat. Sentiment primordial, kultus individu yang berlebihan, serta fanatisme buta terhadap salah seorang kandidat, menjidakan masyarakat lebih mengutamakan menang-kalah daripada tujuan hajatan PILKADA yang sesungguhnya, yakni “Membangun daerah disegala bidang dengan mengisi komposisi struktur pemerintahan yang adil, bersih, dan berkompeten”.


Kaum intelektual, harus mengembalikan posisi dan perannya sebagai pion pengatur ritme social, meski dalam kapasitas extra-power (diluar kekuasaan) yang mereka miliki. Kaum intelektual sudah saatnya meninggalkan kebiasaan berteori dibelakang meja, dengan mencoba mengabdikan ilmu dan pengetahuaannya demi kepentingan masyarakat. Kebiasaan sekedar berteori tanpa mau mencoba keabsahannya, hanya akan menjadikan pengetahuan kita kian absurd dan tak berguna sama sekali untuk perbaikan kondisi masyarakat. “Walupun seribu teori-teori pembebasan yang kita pelajari, setumpuk buku-buku demokrasi dan keadilan yang kita baca, tapi semua tidak akan pernah ada artinya tanpa kita pernah berusaha menyelami air mata kaum tertindas. Maka, kita tak lebih dari sekedar intelektual kekanak-kanakan”. Jika hal tersebut di atas, tidak mampu dilakukan, maka kita hanya akan menjadi manusia yang sok pintar dengan upaya membentuk stratifikasi social (gelar, prestise, dan ketokohan) baru di tengah masyarakat. Situasi yang tentunya hanya akan membangun menara gading, yang sangat terpisah jauh dari realitas kehidupan social masyarakat.

Samarinda, 22 Januari 2008


Baca Lebih Lanjut....