Oleh : Ken Budha Kusumandaru*
Pengantar: Dialektika, terutama, adalah ketrampilan. Ia harus dilatih, harus dipergunakan sehari-hari, dalam tiap kesempatan, tanpa putus. Berikut ini adalah contoh-contoh penggunaan dialektika dalam kancah perjuangan kelas, berbagai masalah yang seringkali membingungkan para anggota berhubung adanya tekanan ideologi borjuasi pada cara berpikir kita.
Seringkali kita menemui kawan-kawan, di basis atau di tempat lain, mengeluh: “Kami tidak bisa kalau harus berpikir, kami ini orang bodoh.” Mendengar pernyataan ini, kita bisa langsung bertanya-tanya apakah kawan ini benar rendah hati ataukah rendah diri. Kalau rendah hati, artinya pernyataan itu merupakan pertanda kesiapan untuk belajar lebih banyak dari orang lain, aku mengacungkan jempol. Tapi, jika pernyataan itu tulus datangnya dari dalam hati, aku harus menyatakan penyesalan. Perasaan rendah diri itu muncul sebagai hasil dari propaganda ideologis kelas berkuasa, yang memang menginginkan rakyat pekerja merasa dirinya bodoh dan tidak berdaya, yang kemudian menyerahkan tugas untuk “berpikir” pada orang-orang “pintar”. Pada kenyataannya, “orang-orang pintar” ini adalah wakil-wakil dan kaki-tangan kekuasaan borjuasi.
Sudah lama orang berdebat ramai tentang “kecerdasan”. Persoalannya tidak sederhana. Pada dasarnya, orang perlu mendefinisikan “kecerdasan” karena manusia mengklaim diri sebagai “mahluk cerdas”. Nama taksononomi (cabang biologi yang menggolongkan mahluk hidup) dari spesies manusia adalah Homo sapiens – yang artinya adalah Manusia yang Cerdas. Sudah sejak lama sebenarnya manusia sendiri menyangsikan bahwa hanya dirinya yang memiliki kecerdasan itu. Manusia sudah lama kagum dengan kemampuan banyak jenis hewan untuk melakukan hal-hal yang menakjubkan. Kera dan monyet, misalnya, sudah sejak dulu digunakan di sirkus. Begitu juga dengan berbagai jenis hewan lain. Hari ini kita dapat menemui berbagai jenis hewan yang mampu menjadi bintang dalam film-film Hollywood (misalnya Air Bud, yang sekuelnya berderet-deret itu). Mereka digambarkan memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah seperti halnya manusia. Jadi, apa sebetulnya “kecerdasan” itu – dan apakah memang hal ini yang membedakan manusia dari hewan-hewan lainnya?
Kecerdasan: sebuah hasil dialektika
Persoalan “kecerdasan” sesungguhnya adalah sebuah persoalan dialektika yang sangat klasik, di mana hukum dialektika “kuantitas berubah menjadi kualitas” mendominasi. Kita biasa menggunakan hukum ini dalam kasus air yang dididihkan. Ketika kita menambah kuantitas (jumlah) panas, maka kualitas air (dalam hal ini wujudnya) pun akan berubah – dari cair menjadi uap. Tapi, hukum ini tidak hanya berlaku pada penambahan kuantitas yang berunsur tunggal. Hukum ini seringkali dinyatakan dalam bentuk lain: “Yang keseluruhan lebih besar daripada penjumlahan bagian-bagiannya.” Kita seringkali secara sederhana menggambarkannya sebagai “1+2 <>Inilah yang disebut “penjumlahan dialektik” di mana bukan kuantitasnya saja yang dilihat – tapi juga bagaimana hubungan antar unsur yang dijumlahkan. Kecerdasan adalah sebuah kualitas. Maka, kecerdasan memiliki unsur-unsur. Di antara unsur-unsur itu juga terdapat hubungan tertentu, yang dapat kita temukan. Jika berdiri sendiri, unsur-unsur ini tidak dapat disebut “kecerdasan”. Ada orang yang kuat di satu unsur, ada yang kuat di unsur yang lain. Tapi, yang lebih penting lagi adalah bagaimana unsur-unsur berhubungan. Sekalipun barangkali seseorang tidak memiliki salah satu unsur yang menonjol, ia tetap bisa “cerdas” jika berhasil membangun hubungan yang padu antar unsurnya.
Unsur-Unsur Kecerdasan
Sampai saat ini, ilmu pengetahuan sudah mengenali beberapa unsur yang membentuk kecerdasan. Beberapa yang paling dikenal orang adalah kecepatan belajar, kemampuan menggunakan metode coba-coba untuk menemukan jawaban satu masalah, menghubungkan masalah dengan konteks dan memilih jawaban yang tepat dari rentang pilihan (opsi) tertentu. Unsur-unsur inilah yang diuji dalam tes yang dikenal sebagai IQ. Sekalipun diberi nama “Intelligent Quotient Test” (Uji Kadar Kecerdasan), IQ hanya menguji beberapa aspek (unsur) tertentu dari kecerdasan. Itupun bukan yang utama dan tidak menguji hubungan yang terdapat antar aspek-aspek tersebut.
Aspek yang lainnya adalah kemampuan mengingat kembali hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya. Cara kita bersekolah di Indonesia ini lebih banyak menekankan aspek yang ini, yang dikenal juga sebagai kemampuan menghafal.
Bagaimana unsur-unsur kecerdasan dihubungkan
Tiap saat, tiap waktu, kita menggunakan salah satu unsur kecerdasan. Ketika Anda membaca tulisan ini, setidaknya Anda menggunakan kemampuan untuk menghafal ketika Anda mencoba memahami huruf dan makna kata-kata, sekaligus berusaha memadukannya dengan pengetahuan yang sudah ada di kepala Anda. Kecepatan Anda memadukan pengetahuan itu adalah bentuk kecerdasan lain yang Anda gunakan. Tapi, manusia memiliki cara lain yang lebih rumit untuk menggunakan bentuk-bentuk kecerdasan ini. Bentuk-bentuk hubungan yang hampir tidak pernah diperlihatkan oleh hewan yang paling “cerdas” sekalipun – kecuali dalam kasus-kasus khusus di mana hewan “cerdas”, semacam simpanse, dilatih secara oleh orang-orang ahli. Itupun lebih merupakan kekecualian daripada kebiasaan.
Misalnya, ketika Anda melihat judul tulisan ini, Anda harus mengambil keputusan apakah membacanya lebih lanjut atau melewatkannya. Jika Anda melewatkannya, siapa tahu tulisan ini berguna untuk Anda; tapi jika Anda baca, bisa jadi Anda justru buang-buang waktu. Dengan membaca judulnya saja, Anda tidak dapat menentukan apa hasilnya jika Anda mengambil salah satu keputusan. Pada saat itu, Anda dihadapkan pada keharusan menggunakan kemampuan memilih pada rentang pilihan yang tidak jelas konsekuensinya. Agar dapat mengambil keputusan dengan baik, Anda tentunya akan membandingkan pilihan-pilihan yang tersedia dengan keputusan-keputusan Anda sebelumnya: terutama mengenai kebutuhan Anda dan jadwal penggunaan waktu yang Anda punya. Jika Anda memang telah merencanakan untuk membaca segala hal yang bersangkutan dengan dialektika, Anda pasti mengambil resiko membaca tulisan ini. Jika jadwal waktu Anda memungkinkan, Anda juga mungkin memutuskan untuk mulai membaca. Ini membutuhkan kemampuan untuk merencanakan.
Dan, terakhir, untuk dapat menyimpulkan apa yang akan menjadi keputusan, Anda harus “memainkan skenario” di dalam kepala Anda. Inilah bentuk yang sering kita jumpai, di mana kita seakan “bicara pada diri sendiri” atau “bicara dalam hati”. Padahal, yang kita lakukan adalah memainkan satu atau beberapa skenario, untuk menebak seperti apa hasilnya jika satu hal/kejadian dipasangkan dengan hal/kejadian lain. Kemampuan menebak hubungan yang terjadi antar hal/kejadian inilah yang dikenal sebagai kemampuan abstraksi.
Kecerdasan adalah kemampuan menggunakan pikiran secara berguna
Kita tentu tidak bisa menulis atau bercakap-cakap tanpa mengetahui, menghafal dan menguasai cara menyusun kata-kata. Tapi, percakapan yang bermutu menutut lebih dari itu – yakni kecerdasan untuk memilih, merencanakan dan menghubungkan kata-kata untuk menyampaikan satu pesan yang dapat dimengerti lawan bicara.
Oleh karena itulah “orang sekolahan” belum tentu cerdas. Di sekolah, apalagi di sekolah ala Indonesia, orang hanya dilatih menghafal. Pengetahuannya banyak tapi ia (kemungkinan besar) tidak mampu merangkai pengetahuan itu menjadi sesuatu yang berguna. Seseorang bisa bergelar Sarjana, Master atau Doktor – dengan pengetahuan berjubel di otaknya – tapi untuk kecerdasan (kemampuan merangkai pengetahuan menjadi sesuatu yang berguna) ia bisa jadi kalah dengan seorang buruh, seorang petani atau seorang nelayan. Dari sebab itu, jika kita bertemu seorang dari basis (atau dari manapun) yang berkata, “Maaf, kami terlalu bodoh,” katakan padanya, “Kita semua cerdas. Kita semua mampu menyambungkan pengetahuan kita menjadi sesuatu yang berguna.”Benar, sama seperti semua hal lain di dunia ini, kecerdasan memang musti diasah, musti dilatih. Oleh karena itu kita belajar MDH, tata-cara berpikir, agar memudahkan kita menghubungkan berbagai macam hal. Kita juga belajar sejarah, agar mendapat penambahan pengetahuan tentang penindasan dan cara-cara yang pernah dilakukan orang untuk melawannya. Kita berdiskusi, kita berorganisasi, kita menjalankan instruksi dan memimpin. Semua ini dilakukan untuk melatih kecerdasan.
Kalau sekolahan resmi tidak mampu kita masuki (karena terlalu mahal), belajarlah dengan giat di dalam organisasi. Jangan pernah merasa cukup, teruslah berlatih menggunakan otak kita. Karena kecerdasan yang dibangun dalam sebuah organisasi perlawanan adalah kecerdasan yang paling lengkap untuk kita semua.
*Penulis adalah Ketua Divisi Pendidikan KP PRP
Baca Lebih Lanjut....