Selamat Datang di Blogsite KPO PRP Samarinda.

Minggu, 23 Maret 2008

Seri Mari Berdialektika (3)

CERDAS VS BODOH, TAHU VS TIDAK TAHU

Oleh : Ken Budha Kusumandaru*

Pengantar
: Dialektika, terutama, adalah ketrampilan. Ia harus dilatih, harus dipergunakan sehari-hari, dalam tiap kesempatan, tanpa putus. Berikut ini adalah contoh-contoh penggunaan dialektika dalam kancah perjuangan kelas, berbagai masalah yang seringkali membingungkan para anggota berhubung adanya tekanan ideologi borjuasi pada cara berpikir kita.

Seringkali kita menemui kawan-kawan, di basis atau di tempat lain, mengeluh: “Kami tidak bisa kalau harus berpikir, kami ini orang bodoh.” Mendengar pernyataan ini, kita bisa langsung bertanya-tanya apakah kawan ini benar rendah hati ataukah rendah diri. Kalau rendah hati, artinya pernyataan itu merupakan pertanda kesiapan untuk belajar lebih banyak dari orang lain, aku mengacungkan jempol. Tapi, jika pernyataan itu tulus datangnya dari dalam hati, aku harus menyatakan penyesalan. Perasaan rendah diri itu muncul sebagai hasil dari propaganda ideologis kelas berkuasa, yang memang menginginkan rakyat pekerja merasa dirinya bodoh dan tidak berdaya, yang kemudian menyerahkan tugas untuk “berpikir” pada orang-orang “pintar”. Pada kenyataannya, “orang-orang pintar” ini adalah wakil-wakil dan kaki-tangan kekuasaan borjuasi.


Sudah lama orang berdebat ramai tentang “kecerdasan”. Persoalannya tidak sederhana. Pada dasarnya, orang perlu mendefinisikan “kecerdasan” karena manusia mengklaim diri sebagai “mahluk cerdas”. Nama taksononomi (cabang biologi yang menggolongkan mahluk hidup) dari spesies manusia adalah Homo sapiens – yang artinya adalah Manusia yang Cerdas.
Sudah sejak lama sebenarnya manusia sendiri menyangsikan bahwa hanya dirinya yang memiliki kecerdasan itu. Manusia sudah lama kagum dengan kemampuan banyak jenis hewan untuk melakukan hal-hal yang menakjubkan. Kera dan monyet, misalnya, sudah sejak dulu digunakan di sirkus. Begitu juga dengan berbagai jenis hewan lain. Hari ini kita dapat menemui berbagai jenis hewan yang mampu menjadi bintang dalam film-film Hollywood (misalnya Air Bud, yang sekuelnya berderet-deret itu). Mereka digambarkan memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah seperti halnya manusia. Jadi, apa sebetulnya “kecerdasan” itu – dan apakah memang hal ini yang membedakan manusia dari hewan-hewan lainnya?

Kecerdasan: sebuah hasil dialektika

Persoalan “kecerdasan” sesungguhnya adalah sebuah persoalan dialektika yang sangat klasik, di mana hukum dialektika “kuantitas berubah menjadi kualitas” mendominasi. Kita biasa menggunakan hukum ini dalam kasus air yang dididihkan. Ketika kita menambah kuantitas (jumlah) panas, maka kualitas air (dalam hal ini wujudnya) pun akan berubah – dari cair menjadi uap. Tapi, hukum ini tidak hanya berlaku pada penambahan kuantitas yang berunsur tunggal. Hukum ini seringkali dinyatakan dalam bentuk lain: “Yang keseluruhan lebih besar daripada penjumlahan bagian-bagiannya.” Kita seringkali secara sederhana menggambarkannya sebagai “1+2 <>Inilah yang disebut “penjumlahan dialektik” di mana bukan kuantitasnya saja yang dilihat – tapi juga bagaimana hubungan antar unsur yang dijumlahkan. Kecerdasan adalah sebuah kualitas. Maka, kecerdasan memiliki unsur-unsur. Di antara unsur-unsur itu juga terdapat hubungan tertentu, yang dapat kita temukan. Jika berdiri sendiri, unsur-unsur ini tidak dapat disebut “kecerdasan”. Ada orang yang kuat di satu unsur, ada yang kuat di unsur yang lain. Tapi, yang lebih penting lagi adalah bagaimana unsur-unsur berhubungan. Sekalipun barangkali seseorang tidak memiliki salah satu unsur yang menonjol, ia tetap bisa “cerdas” jika berhasil membangun hubungan yang padu antar unsurnya.
Unsur-Unsur Kecerdasan
Sampai saat ini, ilmu pengetahuan sudah mengenali beberapa unsur yang membentuk kecerdasan. Beberapa yang paling dikenal orang adalah kecepatan belajar, kemampuan menggunakan metode coba-coba untuk menemukan jawaban satu masalah, menghubungkan masalah dengan konteks dan memilih jawaban yang tepat dari rentang pilihan (opsi) tertentu. Unsur-unsur inilah yang diuji dalam tes yang dikenal sebagai IQ. Sekalipun diberi nama “Intelligent Quotient Test” (Uji Kadar Kecerdasan), IQ hanya menguji beberapa aspek (unsur) tertentu dari kecerdasan. Itupun bukan yang utama dan tidak menguji hubungan yang terdapat antar aspek-aspek tersebut.


Aspek yang lainnya adalah kemampuan mengingat kembali hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya. Cara kita bersekolah di Indonesia ini lebih banyak menekankan aspek yang ini, yang dikenal juga sebagai kemampuan menghafal.Para ahli juga menyebut-nyebut tentang “kecerdasan” motorik, di mana orang dapat melatih alat-alat tubuhnya agar “jinak” dan dapat digerakkan sekehendak hatinya. Bentuk kecerdasan lain adalah “kecerdasan sensorik” di mana kepekaan inderawi ditingkatkan sedemikian rupa sehingga mampu menangkap hal-hal yang tidak dapat ditangkap orang biasa. Ada lagi yang disebut-sebut sebagai “kecerdasan emosional”, yang dapat membuat orang peka terhadap situasi dan perilaku orang lain dan mampu menyesuaikan tindakan dan bahasa tubuhnya pada konteks lingkungannya. Walau demikian, ketiga jenis kecerdasan ini sesungguhnya merupakan variasi dari kemampuan membangun behavioral template (mal/pola baku perilaku) yang akan dicerna syaraf, baik motorik maupun sensorik. Kini telah diketahui bahwa pembangunan pola baku ini adalah bagian dari sistem budaya manusia – karena kemampuan ini dibentuk melalui permainan yang dilakukan di masa kanak-kanak. Di samping itu, ada jenis kecerdasan lain, yang tidak banyak diuji dan diberi ponten di sekolah: kreativitas, yakni kemampuan untuk menemukan cara baru untuk memanfaatkan bahan-bahan yang telah tersedia. Seorang pembantu rumah tangga yang mendapati sapunya patah, lalu menyambungnya kembali sedemikian rupa sehingga dapat digunakan lagi, adalah contoh kecerdasan semacam ini.

Bagaimana unsur-unsur kecerdasan dihubungkan
Tiap saat, tiap waktu, kita menggunakan salah satu unsur kecerdasan. Ketika Anda membaca tulisan ini, setidaknya Anda menggunakan kemampuan untuk menghafal ketika Anda mencoba memahami huruf dan makna kata-kata, sekaligus berusaha memadukannya dengan pengetahuan yang sudah ada di kepala Anda. Kecepatan Anda memadukan pengetahuan itu adalah bentuk kecerdasan lain yang Anda gunakan. Tapi, manusia memiliki cara lain yang lebih rumit untuk menggunakan bentuk-bentuk kecerdasan ini. Bentuk-bentuk hubungan yang hampir tidak pernah diperlihatkan oleh hewan yang paling “cerdas” sekalipun – kecuali dalam kasus-kasus khusus di mana hewan “cerdas”, semacam simpanse, dilatih secara oleh orang-orang ahli. Itupun lebih merupakan kekecualian daripada kebiasaan.


Misalnya, ketika Anda melihat judul tulisan ini, Anda harus mengambil keputusan apakah membacanya lebih lanjut atau melewatkannya. Jika Anda melewatkannya, siapa tahu tulisan ini berguna untuk Anda; tapi jika Anda baca, bisa jadi Anda justru buang-buang waktu. Dengan membaca judulnya saja, Anda tidak dapat menentukan apa hasilnya jika Anda mengambil salah satu keputusan. Pada saat itu, Anda dihadapkan pada keharusan menggunakan kemampuan memilih pada rentang pilihan yang tidak jelas konsekuensinya. Agar dapat mengambil keputusan dengan baik, Anda tentunya akan membandingkan pilihan-pilihan yang tersedia dengan keputusan-keputusan Anda sebelumnya: terutama mengenai kebutuhan Anda dan jadwal penggunaan waktu yang Anda punya. Jika Anda memang telah merencanakan untuk membaca segala hal yang bersangkutan dengan dialektika, Anda pasti mengambil resiko membaca tulisan ini. Jika jadwal waktu Anda memungkinkan, Anda juga mungkin memutuskan untuk mulai membaca. Ini membutuhkan kemampuan untuk merencanakan.


Dan, terakhir, untuk dapat menyimpulkan apa yang akan menjadi keputusan, Anda harus “memainkan skenario” di dalam kepala Anda. Inilah bentuk yang sering kita jumpai, di mana kita seakan “bicara pada diri sendiri” atau “bicara dalam hati”. Padahal, yang kita lakukan adalah memainkan satu atau beberapa skenario, untuk menebak seperti apa hasilnya jika satu hal/kejadian dipasangkan dengan hal/kejadian lain. Kemampuan menebak hubungan yang terjadi antar hal/kejadian inilah yang dikenal sebagai kemampuan abstraksi.

Kecerdasan adalah kemampuan menggunakan pikiran secara berguna

Kita tentu tidak bisa menulis atau bercakap-cakap tanpa mengetahui, menghafal dan menguasai cara menyusun kata-kata. Tapi, percakapan yang bermutu menutut lebih dari itu – yakni kecerdasan untuk memilih, merencanakan dan menghubungkan kata-kata untuk menyampaikan satu pesan yang dapat dimengerti lawan bicara.

Oleh karena itulah “orang sekolahan” belum tentu cerdas. Di sekolah, apalagi di sekolah ala Indonesia, orang hanya dilatih menghafal. Pengetahuannya banyak tapi ia (kemungkinan besar) tidak mampu merangkai pengetahuan itu menjadi sesuatu yang berguna. Seseorang bisa bergelar Sarjana, Master atau Doktor – dengan pengetahuan berjubel di otaknya – tapi untuk kecerdasan (kemampuan merangkai pengetahuan menjadi sesuatu yang berguna) ia bisa jadi kalah dengan seorang buruh, seorang petani atau seorang nelayan. Dari sebab itu, jika kita bertemu seorang dari basis (atau dari manapun) yang berkata, “Maaf, kami terlalu bodoh,” katakan padanya, “Kita semua cerdas. Kita semua mampu menyambungkan pengetahuan kita menjadi sesuatu yang berguna.”Benar, sama seperti semua hal lain di dunia ini, kecerdasan memang musti diasah, musti dilatih. Oleh karena itu kita belajar MDH, tata-cara berpikir, agar memudahkan kita menghubungkan berbagai macam hal. Kita juga belajar sejarah, agar mendapat penambahan pengetahuan tentang penindasan dan cara-cara yang pernah dilakukan orang untuk melawannya. Kita berdiskusi, kita berorganisasi, kita menjalankan instruksi dan memimpin. Semua ini dilakukan untuk melatih kecerdasan.

Kalau sekolahan resmi tidak mampu kita masuki (karena terlalu mahal), belajarlah dengan giat di dalam organisasi. Jangan pernah merasa cukup, teruslah berlatih menggunakan otak kita. Karena kecerdasan yang dibangun dalam sebuah organisasi perlawanan adalah kecerdasan yang paling lengkap untuk kita semua.

*Penulis adalah Ketua Divisi Pendidikan KP PRP



Baca Lebih Lanjut....

Seri Mari Berdialektika (2)

ABSTRAK VS KONGKRIT

Oleh : Ken Budha Kusumandaru*

Pengantar: Dialektika, terutama, adalah ketrampilan. Ia harus dilatih, harus dipergunakan sehari-hari, dalam tiap kesempatan, tanpa putus. Berikut ini adalah contoh-contoh penggunaan dialektika dalam kancah perjuangan kelas, berbagai masalah yang seringkali membingungkan para anggota berhubung adanya tekanan ideologi borjuasi pada cara berpikir kita.

Seri Mari Berdialektika (2) Abstrak vs Kongkrit

Kita seringkali mendengar celetukan, “Wah, nggak kongkrit, nih!” atau “Analisanya terlalu abstrak, tidak bisa diterima.” Celetukan-celetukan ini berasal dari ketidakmampuan kita menilai secara dialektik pertentangan antara yang abstrak dan yang kongkrit.

Dalam persoalan “abstrak vs kongkrit” berlaku juga hukum kesatuan kontradiktif, tapi dengan cara yang jauh lebih rumit daripada yang berlaku pada persoalan “Pribadi vs Publik”. Dalam soal yang sekarang kita bahas berlaku juga hukum-hukum gerak yang lain, terutama “negasi dari negasi”.

Keterbatasan sudut pandang kita selalu membuat kita tidak dapat dengan cepat melihat semua aspek yang berkaitan dengan satu hal. Kita melihat tanah longsor terjadi begitu cepat, begitu mendadak. Karena itulah banyak orang yang menyebut ini sebagai “takdir”. Yah, apa yang tadinya nampak kokoh (kongkrit) tiba-tiba runtuh (kongkrit) dan menimbulkan banyak korban (juga kongkrit). Tapi, kita sudah diajari untuk mencari apa yang tidak langsung nampak di depan mata kita. Oleh karena itu, kita kemudian tahu bahwa ada penebangan pohon (kongkrit) yang membuat tanah kehilangan akar yang berfungsi mengikat butir-butir tanah (kongkrit). Dua himpunan hal kongkrit ini nampaknya tidak berhubungan. Abstraksi-lah yang membuat kita mampu menarik hubungan dari berbagai hal kongkrit yang nampaknya tidak saling berhubungan ini. Dengan abstraksi kita bisa menyangkal takdir, karena kita bisa menemukan hubungan sebab-akibat antar berbagai hal yang kongkrit.

Contoh lain: Ada orang butuh pekerjaan (kongkrit), ada orang lain menyediakan pekerjaan (kongkrit), orang yang butuh pekerjaan meminta pekerjaan pada orang yang menyediakan pekerjaan (kongkrit), di antara mereka muncul perjanjian kerja (kongkrit), si pekerja mendapat upah (kongkrit), si pemberi kerja mendapat profit (kongkrit). Hubungan antar hal-hal yang kongkrit ini ditemukan lewat abstraksi yang luar biasa sulit dan rumit, oleh seorang yang bernama Karl Marx, dan diuraikan lewat bukunya yang sangat abstrak, yang diberi judul Kapital.

Jadi, di sini abstraksi menegasi kekongkritan. Hal-hal yang kongkrit menjadi usang ketika abstraksi memainkan perannya dengan sempurna. Dengan kata lain, lewat hal-hal yang kongkrit kita berjalan menuju abstraksi. Lewat hal-hal yang kongkrit kita menemukan hukum-hukum, pola, skema yang merangkai hal-hal kongkrit itu dalam satu kesatuan sebab-akibat.

Tapi, kembali proses berulang, kali ini ke arah yang berkebalikan. Begitu hukum-hukum ditemukan, hukum-hukum ini akan menuntut penerapan. Begitu kita hendak menerapkannya, kita akan terbentur pada keadaan di mana hukum itu harus dipecah-pecah menjadi tindakan atau peristiwa kecil-kecil yang hanya menggambarkan hukum itu sebagian saja. Misalnya saja, ketika orang menemukan hubungan antara penebangan pohon dengan tanah longsor, bisa saja kemudian penerapannya adalah menanam pohon lamtoro. Bisa jadi, di masa datang, orang mengambil kesimpulan yang keliru bahwa pohon lamtoro bisa menangkal tanah longsor. Benar, tapi parsial, karena jenis pohonnya tidak terlalu menentukan, yang menentukan adalah struktur akarnya.

Ketegangan antara kongkrit dan abstrak inilah yang telah terjadi sepanjang sejarah ilmu pengetahuan. Bahkan ilmu pengetahuan itu sendiri adalah himpunan dari sejarah benturan antara yang kongkrit dan yang abstrak.

Ada kemungkinan bahwa pemisahan antara yang kongkrit dan yang abstrak ini adalah bagian dari ideologi borjuis yang memang ingin memisahkan antara kerja pikiran dan kerja tangan (manual/kasar) . Jatah borjuasi adalah kerja pikiran sementara jatah rakyat pekerja adalah kerja kongkrit.

Pengaruh ideologi borjuasi ini pada gerakan rakyat pekerja terasa pada pernyataan “yang penting mengorganisir, jangan banyak teori”. Bukankah ini, tanpa disadari, bersesuaian persis dengan apa yang diinginkan kelas borjuis – supaya rakyat pekerja hanya bekerja, tidak banyak berpikir?


Kita harus menolak pemisahan antara yang kongkrit dan yang abstrak. Dengan demikian, kita menolak orang yang hanya berteori, yang berkutat di ruang kerja yang aman dari resiko konflik kelas. Tapi kita juga menolak orang yang hanya ada di lapangan, yang hanya berkutat dengan aksi dan aksi, yang tidak bersedia berupaya menyimpulkan pengalamannya menjadi satu teori perjuangan. Tidak mampu dan tidak mau adalah dua hal yang berbeda. Dan ketidakmampuan bisa diatasi dengan semangat, dengan keberanian coba-coba, dengan trial and error, dengan dukungan seluruh kolektif untuk bersama-sama merumuskan pengalaman-pengalam an menjadi teori baru.


Ada pula kemungkinan pemisahan ini terjadi secara tidak sengaja, yakni ketidakmampuan menggunakan istilah dengan benar. Barangkali yang dimaksud dengan “abstrak” adalah “rumit dan sulit dipahami”. Kalau itu yang dimaksud, baiknya jangan disebut abstrak. Salah kaprah dan justru bisa menimbulkan ketakutan orang akan sesuatu yang abstrak. Bisa jadi juga yang dimaksud “abstrak” adalah “tidak berdasarkan fakta”. Ini jelas keliru. Abstraksi yang kita lakukan harus berlandaskan fakta, harus berlandaskan sesuatu yang “kongkrit”.
Di sisi seberangnya, orang juga menggunakan kata “kongkrit” dengan makna “tidak mudah diterapkan”. Ini penggunaan yang keliru dan bisa menimbulkan ketidaktaatasasan (panjang betul…) alias inkonsistensi dalam bertindak. Setiap hal yang kongkrit diatur oleh hukum (abstraksi) tertentu di balik panggung.


Dan tidak semua hal yang kongkrit harus mudah diterapkan. Seringkali, sebagai akibat hukum yang mengaturnya, satu hal kongkrit sangat sulit dilaksanakan – contohnya adalah penerapan hukum relativitas Einstein, yang menuntut satu benda berjalan pada kecepatan mendekati kecepatan cahaya (± 300.000 km/detik). Hampir mustahil menemukan hal kongkrit yang menaati hukum Einstein di bumi, ia harus diciptakan dengan mesin yang sangat mahal atau dicari di ruang angkasa.

Kita harus dapat menggunakan keduanya (abstraksi maupun pengkongkritan) dengan sama baiknya. Dari hal-hal yang kongkrit, kita harus mampu membangun abstraksi. Dan dari abstraksi kita harus dapat menemukan hal-hal kongkrit yang mencerminkan hukum-hukum abstrak itu dengan tepat. Kita dapat memeriksa apakah satu hal yang abstrak diuraikan dengan tepat dengan memeriksa fakta kongkrit yang dijadikan alasan. Kita juga dapat memeriksa apakah satu hal kongkrit sudah tepat dengan memeriksa apakah hal itu taat asas pada teori/abstraksi yang melatarbelakanginya .

Dalam pengkongkritan, masuk juga upaya untuk membuat abstraksi dapat disampaikan dengan cara yang lebih mudah dipahami. Abstraksi boleh rumit, serumit yang diperlukan untuk dapat menemukan hukum-hukum yang dicari. Tapi, ketika ia akan disampaikan kepada khalayak, kita sudah memasuki wilayah pengkongkritan.

Pemisahan abstrak-kongkrit dan kesalahan penggunaan istilah akan dapat meneguhkan cengkeraman kekuasaan hegemoni borjuasi – yang tidak menginginkan rakyat pekerja mampu membuat abstraksinya sendiri …

* Ketua Divisi Pendidikan KP PRP
Baca Lebih Lanjut....

Seri Mari Berdialektika (1)

PRIBADI VS PUBLIK

Oleh : Ken Budha Kusumandaru*

Pengantar: Dialektika, terutama, adalah ketrampilan. Ia harus dilatih, harus dipergunakan sehari-hari, dalam tiap kesempatan, tanpa putus. Berikut ini adalah contoh-contoh penggunaan dialektika dalam kancah perjuangan kelas, berbagai masalah yang seringkali membingungkan para anggota berhubung adanya tekanan ideologi borjuasi pada cara berpikir kita.

Teori borjuis mengatakan bahwa kehidupan kita dibagi dua aras (Publik dan Pribadi). Dengan demikian, ada hal yang digolongkan ke dalam kehidupan pribadi sementara hal lain dimasukkan dalam kehidupan publik. Dalam hal-hal yang termasuk “pribadi”, publik tidak boleh campur tangan. Sebaliknya, dalam hal-hal yang dianggap “publik” tidak boleh ada kepentingan pribadi di dalamnya.

Ketika kita belajar dialektika, kita diajari bahwa “Hal-hal yang bertentangan sebenarnya terikat satu sama lain dan saling menyaratkan” (interpenetration of the opposites) atau sering diterjemahkan (dengan agak keliru) sebagai “kesatuan hal-hal yang bertentangan” . Dengan dialektika, kita tahu bahwa dalam semua hal-hal yang nampaknya saling bertentangan terdapat ikatan yang tak terpatahkan, yang membuat keduanya bisa terus terlibat dalam kontradiksi, yang satu tidak dapat hadir tanpa yang lain, dan saling menghancurkan- saling membangun kembali.

Dengan dialektika, kita tahu bahwa tidak ada pemisahan yang mutlak antara “pribadi” dan “publik”. Dalam setiap hal, setiap peristiwa dan setiap kejadian, kedua aspek ini hadir bersamaan sekaligus tarik-menarik dan berbenturan. Kondisi riil dan kontemporer dari tarik-menarik inilah yang memberi definisi pada kejadian/peristiwa/ hal tersebut sebagai “pribadi” atau “publik”.

Contohnya begini: Orang sering menganggap buang hajat sebagai satu hal yang “pribadi”. Kalau dilihat dari satu aspek, benar begitu, karena orang tidak bisa berbagi hajat. Misalnya, tidak bisa orang menitipkan buang hajat pada orang lain. Kegiatan itu harus dijalankan sendiri. Inilah aspek “pribadi” dari aktivitas tersebut.Tapi, sesuai dialektika, ketika aspek “pribadi” hadir, aspek “publik” akan menyusul rapat di belakangnya. Misalnya saja, kita “harus” buang hajat di WC. Ini adalah aspek sosial, norma, tradisi – sesuatu yang sangat “publik”. Kita bahkan tidak bisa memilih di mana kita bisa buang hajat. Sering kita temui tembok bertuliskan: “Yang buang hajat di sini: anjing!” Ada tekanan sosial yang memaksa kita membuat pilihan pribadi pada rentang-pilihan (option) yang disediakan oleh publik.

Begitu juga dengan memilih pekerjaan. Begitu kita mulai diharuskan memilih pekerjaan, kita memasuki sebuah arena yang sangat publik, sangat sosial, karena pekerjaan merupakan salah satu bidang yang berkaitan langsung dengan cara masyarakat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain, pilihan pekerjaan yang terbuka bagi kita ditentukan oleh moda produksi yang berlaku dalam sistem masyarakat. Pilihan yang kita ambil dari rentang-pilihan (opsi) yang tersedia itu akan menentukan posisi kita dalam pertentangan kelas yang muncul dalam moda produksi bersangkutan.

Jika kita perbandingkan, aspek “pribadi” memang lebih dominan dalam kasus buang hajat sekalipun aspek “publik” tidak dapat dilepaskan daripadanya. Sebaliknya, dalam kasus memilih pekerjaan, justru aspek “publik” atau sosial yang lebih besar, sedangkan aspek “pribadi”-nya justru jauh lebih kecil.

Kesalahan-kesalahan pandangan, yang bertentangan dengan dialektika dan ekonomi-politik (yang juga merupakan turunan dialektika), datang dari tekanan ideologi borjuasi – terutama ideologi individualisme. Kelas borjuasi memang menginginkan agar kelas pekerja merasa bahwa pilihannya adalah semata pilihan pribadinya – tanpa merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah bagian dari konflik kelas – supaya lebih mudah ditindas dan ditundukkan. Ideologi ini juga yang mendorong terciptanya sistem kontrak – di mana seorang pekerja dianggap memilih pekerjaan semata sebagai bagian dari ranah “pribadi” sehingga ia juga harus mengikat kontrak pribadi dengan pengusaha.

Ingatlah selalu dialektika dalam mengambil kesimpulan. Yang pribadi dan yang publik tidak akan pernah bisa dipisahkan, keduanya akan sama-sama hadir dalam satu peristiwa. Tinggal aspek mana yang sedang berdominasi. Dan jika aspek publik mendominasi, peristiwa/kejadian tersebut niscaya bersangkutan langsung dengan konflik kelas.

* Ketua Divisi Pendidikan KP PRP Baca Lebih Lanjut....

Senin, 03 Maret 2008

RUU Pemilu ; Politik Dagang Sapi

DPR telah menunda penetapan paket UU pemilu untuk yang kedua kalinya. Pembahasan kian alot, bahkan pada akhirnya penetapan akan dilakukan melalui mekanisme voting hari senin tanggal 3 maret 2008 nanti. Namun sungguh sangat disayangkan bahwa sebuah proses politik yang memuat kepentingan masyarakat banyak, harus berakhir dengan jalan voting seperti ini. Memang terlalu dini untuk mempermasalahkannya tanpa melihat hasil dari keputusan, akan tetapi akan sangat riskan juga jika persoalan regulasi hukum politik tersebut dibiarkan beelalu begitu saja tanpa adanya sikap kritis dari masyarkat, yang notabene merupakan konstituen utama dalam proses politik electoral 5 tahunan ini. Lantas apa yang harus kita kritisi dari sejumlah materi pembahasan yang tak kunjung berakhir ini?. Pertama, soal Daerah Pemilihan (DP). Konsekuensi pemekaran yang semakin meluas, adalah membengkaknya jumlah DP dalam pemilu 2009 nanti. Dari 69 DP pada pemilu 2004 lalu, akan ditambah menjadi 80 DP pada pemilu 2009. Ini jelas merupakan keuntungan real dari partai-partai besar, sebab penambahan DP tersebut akan semakin memperbesar peluang mereka untuk menambah jumlah wakil mereka ke senayan nanti. Dan ini berarti akan semakin mempersempit peluang partai-parta kecil, yang sebenarnya memiliki hak yang sama. Namun yang tekesan aneh adalah, justru dukungan akan hal tersebut lahir dan disetujui oleh partai-partai kecil sendiri. Kedua, soal prasayarat keikutsertaan otomatis partai-partai yang ada di parlemen dalam pemilu atau electoral threshold (ET). Dalam rancangan ketetapan ini, aturan tersebut diganti menjadi parlementary threshold (PT), dimana semua partai-partai yang mendapatkan jatah kursi di parlemen pada pemilu 2004 lalu, akan secara otomatis lolos (ex-oficio) ke pemilu 2009 nanti. Hal tersebut ditetapkan dalam aturan peralihan, yang menganulir prasayarat melalui ET. Ini jelas merupakan kemunduran produk hokum politik, dimana lembaga politik dalam Negara kita, begitu mudahnya mengganti aturan dan bermain-main dengan produk hukum yang pada dasarnya masyarakatlah yang pada nantinya akan menjadi objek utamanya. Ini merupakan ketidakonsistenan para elit politik dalam melaksanakan aturan-aturan yang telah disepakati bersama. Hal tersebut merupakan kensesi atau kompromi politik yang telah diberikan oleh partai-partai dengan jumlah kursi besar yang ada diparlemen. Ketiga, metode dan system penetapan calon terpilih pada pemilu 2009 nanti, apakah berdasarkan suara terbanyak ataukah sesuai nomor urut calon. Dalam system pemilu yang betul-betul demokratis, seharusnya penetapan calon terpilih melalui suaru terbanyak, bukan berdasarkan nomor urut calon. Hal ini memungkinkan terciptanya proses jujur dan bersih dari pmeilihan berdasarkan suara konstituen terbanyak. Partai-partai seharusnya tidak lagi diberikan kewenangan dalam menatapkan calon melalui nomor urut. Jika hal tersebut tetap dilakukan, maka sama halnya dengan menghina suara konstituen yang telah memberikan hak suaranya.

Dapat kita simpulkan bahwa hal yakni ; Pertama, penetapan UU pemilu ini, lebih dititik beratkan pada akomodasi kepentingan dari partai-partai, dengan menomorduakan kepentingan konstituen, yakni ; masyarakat Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi politik dagang sapi dan tawar-menawar kepentingan diantara partai-partai yang ada diparlemen. Keputusan tesebut lebih didasarkan pada kepentingan mereka semata, yang pada sisi yang lain sama sekali tidak mempertimbangkan hak-hak politik masyarakat luas. Kedua, ini menandakan bahwa telah terjadi proses politik hokum temporer dalam system ketatanegaraan kita, utamanya dalam hal politik hukum pemilu. Hal ini terbukti dengan terjadinya perubahan-perubahan mendasar yang dilakukan oleh parlemen setiap momentum politik electoral tiba. Perubahan aturan ini terkesan sangat prematur dan temporer sesuai dengan kepentingan partai-partai yang ada di parlemen setiap 5 tahun sekali. Bisa dibayangkan, bagaimana sebuah produk hukum diganti setiap 5 tahun, tentu akan menimbulkan persepsi negative dari masyarakat; ada apa dibalik semua itu?. Bukankah ini merupakan lelucon hukum dan permainan politik tingkat tinggi?. Maka tidak salah jika kebanyakan orang menilai bahwa hukum telah menjadi alat bagi kekuasaan, hukum yang berlaku selalu ditentukan dari si empunya kuasa. Sungguh merupakan pemandangan yang kurang etis dalam kehidupan. Ketiga, alotnya pembahasan UU Pemilu yang berakhir dengan voting membuktikan bahwa partai-partailah yang memegang kendali utama dari sebuah proses politik hukum kekuasaan. Pada sisi yang lain, seharusnya masyarakat sebagai konstituen harus menyadari bahwa dagelang politik seperti ini telah mempermainkan tanggung jawab yang telah mereka berikan kepada elit politik dan partai-partai pada pemilu 2004 yang lalu. Baca Lebih Lanjut....