
PERBAIKAN NASIB UNTUK SELURUH RAKYAT
Oleh : Anshar*
Di alun-alun Haymarket Square, Amerika Serikat, terjadi aksi buruh yang menuntut 8 jam kerja sehari. Barisan massa yang diikuti oleh puluhan ribu buruh dari seluruh pelosok negara tersebut tumpah di jalan-jalan menuntut perbaikan kondisi kerja yang buruk. Aksi itu telah berlangsung selama 4 hari dan diikuti kurang lebih 300 ribu orang buruh. Mereka semua, baik laki-laki dan perempuan, kulit hitam dan kulit putih, migran dan pribumi, berkumpul dan bersatu memperjuangkan haknya.
Hari sebelumnya, sejak 1 Mei 1886 mereka telah mengadakan pawai di kota chicago, dan bentrok dengan polisi yang dengan keji menyerang massa buruh dan mengakibatkan 6 orang rekan mereka tewas. Namun, keberingasan polisi chicago tersebut, tidak mengurangi semangat mereka untuk terus melanjutkan aksi menuntut 8 jam kerja sehari. Hari itu, di saat hujan mulai turun, massa buruh satu persatu beranjak pergi, hingga jumlah buruh yang tertinggal hanya sekitar 200-an orang. Secara mengejutkan, sebuah bom yang tidak pernah terungkap darimana datangnya, tiba-tiba meledak. Polisi seketika itu juga melepaskan tembakan ke arah massa buruh yang masih tersisa. Puluhan orang tewas seketika ditempat itu dan sisanya luka-luka serta yang lain ditangkapi.
Untuk mengenang peristiwa tersebut, dalam Kongres Sosialis Internasional (Internasional I) di Paris, delegasi asosiasi serikat buruh amerika dan asosiasi buruh internasional mendeklarasikan tanggal 1 Mei sebagai hari buruh sedunia. Dimana buruh-buruh sedunia, mulai dari indonesia, australia, korea, filiphina, london, paris, berlin, vienna, moskow, budapest, madrid dan sebagainya, selalu memperingati 1 Mei dengan melakukan aksi-aksi menuntut perbaikan nasib. May day selalu menjadi momen yang mampu menyatukan barisan buruh di seluruh negeri. Baik buruh negara-negara dunia pertama, maupun yang berada di negara-negara dunia ketiga, akan membangun solidaritas perlawanan internasional di atas basis penghisapan oleh sistem kapitalisme.
Bila kita coba membandingkan kondisi buruh (berdasarkan jam kerja) pada masa itu dengan yang ada sekarang, mungkin kita akan berkesimpulan bahwa kondisi kehidupan buruh di masa ini jauh lebih baik. Namun, perlu di ingat, bahwa kondisi kehidupan buruh yang lebih baik pada masa-masa sekarang ini didapatkan setelah perjuangan panjang kaum buruh di seluruh dunia. Perubahan kondisi yang lebih baik tersebut, bukan hanya dirasakan oleh kaum buruh saja, tetapi juga telah dapat dinikmati oleh sebagian besar rakyat di seluruh belahan dunia. Perjuangan demi perubahan yang lebih baik tersebut, merenggut banyak korban jiwa dan harta benda kaum buruh.
Mungkin kita tak pernah mengira, bahwa di Inggris, hak pilih umum (universal suffrage) adalah hasil perjuangan panjang kaum buruh, yang disebut kaum chartist di Inggris pada pertengahan abad ke-18. Gerakan kaum chartist di Inggris tersebut, baru mendapatkan tempatnya, setelah aksi besar-besaran yang mereka lakukan di Lapangan St. Peter Manchester tahun 1819, dibantai oleh pasukan elit kerajaan Inggris. Pembantaian yang dikenal dengan The battle of Peterloo itu, membangkitkan semangat juang kaum buruh di Inggris. Untuk mencegahnya kearah revolusi, penguasa Inggris dengan terpaksa mengabulkan beberapa tuntutan kaum buruh, diantaranya adalah hak pilih umum.
Demikian juga yang terjadi di Perancis. Bergemanya slogan liberte, egalite, fraternite, bersamaan dengan tumbangnya dinasti bourbon, adalah hasil jerih payah kaum buruh. Meski keberhasilan tersebut, harus dibayar mahal dengan penindasan terhadap kaum buruh oleh borjuasi perancis yang duduk di tampuk kekuasaan, tapi kaum buruh telah berhasil membuka sedikit ruang kebebasan yang dibawah monarki, hidup enggan matipun segan.
Uraian diatas, hanyalah salah satu dari sekian banyak keberhasilan gerakan buruh dalam perjuangannya. Paling tidak fakta itu telah membuktikan, bahwa kaum buruh memiliki kekuatan untuk mewujudkan tuntutannya, dibawah rezim yang paling represif sekalipun. Tentu saja dengan ketentuan, buruh harus bersatu.
Di Indonesia sendiri, kontribusi gerakan buruh di masa-masa represif dalam perjuangan melawan rezim soeharto, tidak kalah besarnya. Kita mengenal nama-nama, seperti marsinah dan widji tukhul, yang menjadi korban kekejaman militer dan salah satu inspirasi yang menggelembungkan gerakan mahasiswa-rakyat hingga reformasi ’98 berhasil menumbangkan jenderal soeharto.
Saat ini, kita semua tahu, bahwa buruh di Indonesia sedang dalam kondisi yang sangat terpuruk. Bukan karena buruh malas bekerja, atau tidak disiplin dalam kerja. Tapi, karena kebijakan negara yang secara nyata tidak berpihak pada kelas pekerja.
Rakyat pekerja diseluruh negeri, mungkin saja dapat memahami, bahwa kebijakan negara saat ini merupakan upaya pemerintah untuk memulihkan perekonomian Indonesia yang sedang dililit krisis. Namun, semakin hari, semakin terlihat pula, beban pemulihan krisis ini sepenuhnya dilimpahkan ke pundak kelas pekerja. Strategi pemulihan ekonomi yang dipraktekkan oleh pemerintah saat ini, berdiri diatas asumsi bahwa rakyat pekerja memiliki banyak uang sedangkan pengusaha dan pejabat memiliki sedikit uang.
Mengapa demikian? Kita bisa melihat bahwa tiang pokok dari strategi pemulihan ekonomi ini adalah pemotongan tingkat kesejahteraan rakyat pekerja, pengurangan nilai upah riil, penghancuran nilai tukar petani dan nelayan, dan penghapusan banyak kondisi kerja yang menguntungkan buruh, penggusuran, dan penghancuran sistem pelayanan publik melalui privatisasi. Sementara untuk pengusaha dan pejabat, pemerintah membayari hutang mereka, bahkan sampai pada tahap write-off (pengahapusan hutang) dan R&D (release and discharge, pengampunan hutang), masih ditambah lagi pemberian fasilitas pemotongan pajak dan tax holiday, bahkan tunjangan yang sangat besar bagi perwakilan rakyat.
Peringatan mayday setahun yang lalu, seharusnya membuka mata pemerintah kita, bahwa kekuatan buruh yang bersatu jelas mampu mengancam eksistensi kekuasaannya. Bargain powernya berkali-kali lipat bila dibandingkan gerakan mahasiswa. Upaya untuk menghadang gerakan dengan tuduhan di politisir, seolah-olah akan menciptakan kerusuhan, bahkan sampai menggunakan organisasi massa reaksioner sebagai pengamanan, terbukti hanya mempan untuk meredam gerakan mahasiswa dan tidak bagi gerakan buruh. Bukan karena kelas pekerja lemah, riskan dan mudah ditunggangi. Tapi karena tidak ada jaminan kelas pekerja dan keluarganya akan mampu bertahan hidup dibawah sistem yang tidak manusiawi ini. Benar, mereka merasakan betul bagaimana susahnya kerja membanting tulang mencari makan, dan menghidupi keluarganya.
Kelas pekerja belajar banyak dari perjuangannya di pabrik-pabrik. Berhadapan dengan pengusaha, bila tidak bersatu tuntutannya akan diabaikan. Atau lebih parah, terancam di-PHK. Kelas pekerja tahu betul, di perusahaan, pengusaha pandai berpolitik dan membohongi buruh. Dan bertambah tahu, bahwa UU yang anti kesejahteraan buruh adalah hasil perjuangan politik pengusaha. UU itu disusun dan ditetapkan oleh pengusaha yang memenangkan pemilu. Kelas pekerja, tidak dapat memperoleh kesempatan itu. Hanya mereka yang memiliki uang dan waktu luang yang dapat memperoleh kesempatan menjadi penguasa.
Pengibaran bendera start sistem kerja kontrak dan out sourching melalui UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketengakerjaan dan revisinya, hanyalah lonceng yang menyerukan persatuan seluruh rakyat pekerja di negeri ini. Selanjutnya, tuntutan kaum buruh harus lebih mengakomodasi tuntutan kebutuhan hidup rakyat pekerja di seluruh negeri ini. Perbaikan nasib bagi seluruh rakyat Indonesia. Selamat hari buruh, sejarah akan berpihak pada kita.
Penulis adalah anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) Komite Kota Persiapan Samarinda Baca Lebih Lanjut....
