Selamat Datang di Blogsite KPO PRP Samarinda.

Senin, 03 Maret 2008

RUU Pemilu ; Politik Dagang Sapi

DPR telah menunda penetapan paket UU pemilu untuk yang kedua kalinya. Pembahasan kian alot, bahkan pada akhirnya penetapan akan dilakukan melalui mekanisme voting hari senin tanggal 3 maret 2008 nanti. Namun sungguh sangat disayangkan bahwa sebuah proses politik yang memuat kepentingan masyarakat banyak, harus berakhir dengan jalan voting seperti ini. Memang terlalu dini untuk mempermasalahkannya tanpa melihat hasil dari keputusan, akan tetapi akan sangat riskan juga jika persoalan regulasi hukum politik tersebut dibiarkan beelalu begitu saja tanpa adanya sikap kritis dari masyarkat, yang notabene merupakan konstituen utama dalam proses politik electoral 5 tahunan ini. Lantas apa yang harus kita kritisi dari sejumlah materi pembahasan yang tak kunjung berakhir ini?. Pertama, soal Daerah Pemilihan (DP). Konsekuensi pemekaran yang semakin meluas, adalah membengkaknya jumlah DP dalam pemilu 2009 nanti. Dari 69 DP pada pemilu 2004 lalu, akan ditambah menjadi 80 DP pada pemilu 2009. Ini jelas merupakan keuntungan real dari partai-partai besar, sebab penambahan DP tersebut akan semakin memperbesar peluang mereka untuk menambah jumlah wakil mereka ke senayan nanti. Dan ini berarti akan semakin mempersempit peluang partai-parta kecil, yang sebenarnya memiliki hak yang sama. Namun yang tekesan aneh adalah, justru dukungan akan hal tersebut lahir dan disetujui oleh partai-partai kecil sendiri. Kedua, soal prasayarat keikutsertaan otomatis partai-partai yang ada di parlemen dalam pemilu atau electoral threshold (ET). Dalam rancangan ketetapan ini, aturan tersebut diganti menjadi parlementary threshold (PT), dimana semua partai-partai yang mendapatkan jatah kursi di parlemen pada pemilu 2004 lalu, akan secara otomatis lolos (ex-oficio) ke pemilu 2009 nanti. Hal tersebut ditetapkan dalam aturan peralihan, yang menganulir prasayarat melalui ET. Ini jelas merupakan kemunduran produk hokum politik, dimana lembaga politik dalam Negara kita, begitu mudahnya mengganti aturan dan bermain-main dengan produk hukum yang pada dasarnya masyarakatlah yang pada nantinya akan menjadi objek utamanya. Ini merupakan ketidakonsistenan para elit politik dalam melaksanakan aturan-aturan yang telah disepakati bersama. Hal tersebut merupakan kensesi atau kompromi politik yang telah diberikan oleh partai-partai dengan jumlah kursi besar yang ada diparlemen. Ketiga, metode dan system penetapan calon terpilih pada pemilu 2009 nanti, apakah berdasarkan suara terbanyak ataukah sesuai nomor urut calon. Dalam system pemilu yang betul-betul demokratis, seharusnya penetapan calon terpilih melalui suaru terbanyak, bukan berdasarkan nomor urut calon. Hal ini memungkinkan terciptanya proses jujur dan bersih dari pmeilihan berdasarkan suara konstituen terbanyak. Partai-partai seharusnya tidak lagi diberikan kewenangan dalam menatapkan calon melalui nomor urut. Jika hal tersebut tetap dilakukan, maka sama halnya dengan menghina suara konstituen yang telah memberikan hak suaranya.

Dapat kita simpulkan bahwa hal yakni ; Pertama, penetapan UU pemilu ini, lebih dititik beratkan pada akomodasi kepentingan dari partai-partai, dengan menomorduakan kepentingan konstituen, yakni ; masyarakat Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi politik dagang sapi dan tawar-menawar kepentingan diantara partai-partai yang ada diparlemen. Keputusan tesebut lebih didasarkan pada kepentingan mereka semata, yang pada sisi yang lain sama sekali tidak mempertimbangkan hak-hak politik masyarakat luas. Kedua, ini menandakan bahwa telah terjadi proses politik hokum temporer dalam system ketatanegaraan kita, utamanya dalam hal politik hukum pemilu. Hal ini terbukti dengan terjadinya perubahan-perubahan mendasar yang dilakukan oleh parlemen setiap momentum politik electoral tiba. Perubahan aturan ini terkesan sangat prematur dan temporer sesuai dengan kepentingan partai-partai yang ada di parlemen setiap 5 tahun sekali. Bisa dibayangkan, bagaimana sebuah produk hukum diganti setiap 5 tahun, tentu akan menimbulkan persepsi negative dari masyarakat; ada apa dibalik semua itu?. Bukankah ini merupakan lelucon hukum dan permainan politik tingkat tinggi?. Maka tidak salah jika kebanyakan orang menilai bahwa hukum telah menjadi alat bagi kekuasaan, hukum yang berlaku selalu ditentukan dari si empunya kuasa. Sungguh merupakan pemandangan yang kurang etis dalam kehidupan. Ketiga, alotnya pembahasan UU Pemilu yang berakhir dengan voting membuktikan bahwa partai-partailah yang memegang kendali utama dari sebuah proses politik hukum kekuasaan. Pada sisi yang lain, seharusnya masyarakat sebagai konstituen harus menyadari bahwa dagelang politik seperti ini telah mempermainkan tanggung jawab yang telah mereka berikan kepada elit politik dan partai-partai pada pemilu 2004 yang lalu.

Tidak ada komentar: