Selamat Datang di Blogsite KPO PRP Samarinda.

Minggu, 23 Maret 2008

Seri Mari Berdialektika (2)

ABSTRAK VS KONGKRIT

Oleh : Ken Budha Kusumandaru*

Pengantar: Dialektika, terutama, adalah ketrampilan. Ia harus dilatih, harus dipergunakan sehari-hari, dalam tiap kesempatan, tanpa putus. Berikut ini adalah contoh-contoh penggunaan dialektika dalam kancah perjuangan kelas, berbagai masalah yang seringkali membingungkan para anggota berhubung adanya tekanan ideologi borjuasi pada cara berpikir kita.

Seri Mari Berdialektika (2) Abstrak vs Kongkrit

Kita seringkali mendengar celetukan, “Wah, nggak kongkrit, nih!” atau “Analisanya terlalu abstrak, tidak bisa diterima.” Celetukan-celetukan ini berasal dari ketidakmampuan kita menilai secara dialektik pertentangan antara yang abstrak dan yang kongkrit.

Dalam persoalan “abstrak vs kongkrit” berlaku juga hukum kesatuan kontradiktif, tapi dengan cara yang jauh lebih rumit daripada yang berlaku pada persoalan “Pribadi vs Publik”. Dalam soal yang sekarang kita bahas berlaku juga hukum-hukum gerak yang lain, terutama “negasi dari negasi”.

Keterbatasan sudut pandang kita selalu membuat kita tidak dapat dengan cepat melihat semua aspek yang berkaitan dengan satu hal. Kita melihat tanah longsor terjadi begitu cepat, begitu mendadak. Karena itulah banyak orang yang menyebut ini sebagai “takdir”. Yah, apa yang tadinya nampak kokoh (kongkrit) tiba-tiba runtuh (kongkrit) dan menimbulkan banyak korban (juga kongkrit). Tapi, kita sudah diajari untuk mencari apa yang tidak langsung nampak di depan mata kita. Oleh karena itu, kita kemudian tahu bahwa ada penebangan pohon (kongkrit) yang membuat tanah kehilangan akar yang berfungsi mengikat butir-butir tanah (kongkrit). Dua himpunan hal kongkrit ini nampaknya tidak berhubungan. Abstraksi-lah yang membuat kita mampu menarik hubungan dari berbagai hal kongkrit yang nampaknya tidak saling berhubungan ini. Dengan abstraksi kita bisa menyangkal takdir, karena kita bisa menemukan hubungan sebab-akibat antar berbagai hal yang kongkrit.

Contoh lain: Ada orang butuh pekerjaan (kongkrit), ada orang lain menyediakan pekerjaan (kongkrit), orang yang butuh pekerjaan meminta pekerjaan pada orang yang menyediakan pekerjaan (kongkrit), di antara mereka muncul perjanjian kerja (kongkrit), si pekerja mendapat upah (kongkrit), si pemberi kerja mendapat profit (kongkrit). Hubungan antar hal-hal yang kongkrit ini ditemukan lewat abstraksi yang luar biasa sulit dan rumit, oleh seorang yang bernama Karl Marx, dan diuraikan lewat bukunya yang sangat abstrak, yang diberi judul Kapital.

Jadi, di sini abstraksi menegasi kekongkritan. Hal-hal yang kongkrit menjadi usang ketika abstraksi memainkan perannya dengan sempurna. Dengan kata lain, lewat hal-hal yang kongkrit kita berjalan menuju abstraksi. Lewat hal-hal yang kongkrit kita menemukan hukum-hukum, pola, skema yang merangkai hal-hal kongkrit itu dalam satu kesatuan sebab-akibat.

Tapi, kembali proses berulang, kali ini ke arah yang berkebalikan. Begitu hukum-hukum ditemukan, hukum-hukum ini akan menuntut penerapan. Begitu kita hendak menerapkannya, kita akan terbentur pada keadaan di mana hukum itu harus dipecah-pecah menjadi tindakan atau peristiwa kecil-kecil yang hanya menggambarkan hukum itu sebagian saja. Misalnya saja, ketika orang menemukan hubungan antara penebangan pohon dengan tanah longsor, bisa saja kemudian penerapannya adalah menanam pohon lamtoro. Bisa jadi, di masa datang, orang mengambil kesimpulan yang keliru bahwa pohon lamtoro bisa menangkal tanah longsor. Benar, tapi parsial, karena jenis pohonnya tidak terlalu menentukan, yang menentukan adalah struktur akarnya.

Ketegangan antara kongkrit dan abstrak inilah yang telah terjadi sepanjang sejarah ilmu pengetahuan. Bahkan ilmu pengetahuan itu sendiri adalah himpunan dari sejarah benturan antara yang kongkrit dan yang abstrak.

Ada kemungkinan bahwa pemisahan antara yang kongkrit dan yang abstrak ini adalah bagian dari ideologi borjuis yang memang ingin memisahkan antara kerja pikiran dan kerja tangan (manual/kasar) . Jatah borjuasi adalah kerja pikiran sementara jatah rakyat pekerja adalah kerja kongkrit.

Pengaruh ideologi borjuasi ini pada gerakan rakyat pekerja terasa pada pernyataan “yang penting mengorganisir, jangan banyak teori”. Bukankah ini, tanpa disadari, bersesuaian persis dengan apa yang diinginkan kelas borjuis – supaya rakyat pekerja hanya bekerja, tidak banyak berpikir?


Kita harus menolak pemisahan antara yang kongkrit dan yang abstrak. Dengan demikian, kita menolak orang yang hanya berteori, yang berkutat di ruang kerja yang aman dari resiko konflik kelas. Tapi kita juga menolak orang yang hanya ada di lapangan, yang hanya berkutat dengan aksi dan aksi, yang tidak bersedia berupaya menyimpulkan pengalamannya menjadi satu teori perjuangan. Tidak mampu dan tidak mau adalah dua hal yang berbeda. Dan ketidakmampuan bisa diatasi dengan semangat, dengan keberanian coba-coba, dengan trial and error, dengan dukungan seluruh kolektif untuk bersama-sama merumuskan pengalaman-pengalam an menjadi teori baru.


Ada pula kemungkinan pemisahan ini terjadi secara tidak sengaja, yakni ketidakmampuan menggunakan istilah dengan benar. Barangkali yang dimaksud dengan “abstrak” adalah “rumit dan sulit dipahami”. Kalau itu yang dimaksud, baiknya jangan disebut abstrak. Salah kaprah dan justru bisa menimbulkan ketakutan orang akan sesuatu yang abstrak. Bisa jadi juga yang dimaksud “abstrak” adalah “tidak berdasarkan fakta”. Ini jelas keliru. Abstraksi yang kita lakukan harus berlandaskan fakta, harus berlandaskan sesuatu yang “kongkrit”.
Di sisi seberangnya, orang juga menggunakan kata “kongkrit” dengan makna “tidak mudah diterapkan”. Ini penggunaan yang keliru dan bisa menimbulkan ketidaktaatasasan (panjang betul…) alias inkonsistensi dalam bertindak. Setiap hal yang kongkrit diatur oleh hukum (abstraksi) tertentu di balik panggung.


Dan tidak semua hal yang kongkrit harus mudah diterapkan. Seringkali, sebagai akibat hukum yang mengaturnya, satu hal kongkrit sangat sulit dilaksanakan – contohnya adalah penerapan hukum relativitas Einstein, yang menuntut satu benda berjalan pada kecepatan mendekati kecepatan cahaya (± 300.000 km/detik). Hampir mustahil menemukan hal kongkrit yang menaati hukum Einstein di bumi, ia harus diciptakan dengan mesin yang sangat mahal atau dicari di ruang angkasa.

Kita harus dapat menggunakan keduanya (abstraksi maupun pengkongkritan) dengan sama baiknya. Dari hal-hal yang kongkrit, kita harus mampu membangun abstraksi. Dan dari abstraksi kita harus dapat menemukan hal-hal kongkrit yang mencerminkan hukum-hukum abstrak itu dengan tepat. Kita dapat memeriksa apakah satu hal yang abstrak diuraikan dengan tepat dengan memeriksa fakta kongkrit yang dijadikan alasan. Kita juga dapat memeriksa apakah satu hal kongkrit sudah tepat dengan memeriksa apakah hal itu taat asas pada teori/abstraksi yang melatarbelakanginya .

Dalam pengkongkritan, masuk juga upaya untuk membuat abstraksi dapat disampaikan dengan cara yang lebih mudah dipahami. Abstraksi boleh rumit, serumit yang diperlukan untuk dapat menemukan hukum-hukum yang dicari. Tapi, ketika ia akan disampaikan kepada khalayak, kita sudah memasuki wilayah pengkongkritan.

Pemisahan abstrak-kongkrit dan kesalahan penggunaan istilah akan dapat meneguhkan cengkeraman kekuasaan hegemoni borjuasi – yang tidak menginginkan rakyat pekerja mampu membuat abstraksinya sendiri …

* Ketua Divisi Pendidikan KP PRP

Tidak ada komentar: