
Oleh : Achmad Dedy*
“Ayam Mati Dalam Lumbung Padi”. Audogium ini sepertinya menggambarkan kondisi rakyat indonesia yang mengalami krisis pangan ditengah-tengah sumber daya alamnya yang melimpah.
Pengantar
Akhir-akhir ini santer dibicarakan dan diberitakan diberbagai media massa di Indonesia baik di media cetak maupun di media elektronik bahwa indonesia tengah dilanda malapetaka krisis pangan. Selain langkanya ketersediaan pangan di pasar, harga barang kebutuhan pokok mulai dari beras, minyak ,tahu, tempe terus membumbung tinggi. Memang agak menggilitik dan ironis mengingat indonesia terkenal dengan kekayaan agraria dan maritimnya. Tanpa bermaksud memvonis pemerintah namun kita pastinya sepakat bahwa negara atau yang dalam hal ini adalah pemerintah lah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kelangsungan ketersediaan pangan bagi rakyatnya. Sepintas terdapat keterhubungan yang kabur antara bencana krisis pangan ini dengan serangkaian kebijakan ekonomi-politik yang diambil oleh pemerintah. Padahal, akar semuanya adalah kesalahan pemerintah dalam melihat masalah dan mengambil keputusan mengenai persoalan pangan. Entah apakah ini kesalahan yang disengaja atau tidak, yang pastinya semua ini tidak terlepas dari intervensi kepentingan ekonomi politik pengusaha-pengusaha internasional untuk melebarkan pangsa pasarnya dengan program Neo-liberalisasi. Dan karenanya itu kesalahan ini bersifat sistematis.
Pasca krisis ekonomi beberapa tahun yang lalu, terdapat kecenderungan mengimpor komoditas pertanian karena hanya melihat harganya lebih murah tanpa melihat kemungkinan-kemungkinan dampak yang terjadi akibat kebijakan impor tersebut. Salah satu akibat yang paling mungkin terjadi adalah ketergantungan pada produk impor, hal ini diperparah lagi oleh produksi dalam negeri terlanjur rusak. Ilusi impor dengan tawaran harga murah dengan kualitas tinggi adalah upaya sistematis dari kapital-kapital internasional agar komoditas pangan seperti beras daging sapi, jagung, ikan dapat masuk ke indonesia hingga menciptakan ketergantungan.
Di levelan mikro, upaya tersistematis ini bisa terlihat dalam perdagangan kedelai. Harga selalu ditekan. Langkah yang dilakukan pedagang kedelai impor adalah menjual kedelai impor sekitar Rp 500 di bawah harga kedelai lokal. Semisal pada tahun 2002, saat harga kedelai lokal Rp 2600 per kilogram, pada saat yang sama pedagang kedelai impor tersebut menantang dengan mematok harga Rp 2100 per kilogram (Kompas). Ini jelas akan mengarah pada ambruknya produksi kedelai dalam negeri. Yang rugi adalah rakyat indonesia sendiri khususnya kaum petani karena salain tingkat produktivitasnya menurun juga banyak yang harus kehilangan mata pencahariannya akibat dari kalah bersaing dengan produsen luar. Ujung-ujungnya menciptakan pengangguran baru. Dalam kurun waktu dua bulan pertama tahun 2008, sekitar 10-20 persen dari 20.200 pengusaha mikro gulung tikar (Fajar).
Pada tingkatan makro, upaya pemerintah untuk memberi intensif bagi petani agar memproduksi kedelai juga sama sekali tidak berjalan. Pengenaan bea masuk sebesar 10 persen juga tidak mampu menolong petani. Tekanan kebutuhan lahan untuk nonpertanian juga mengurangi areal lahan tanaman kedelai. Dalam kurun waktu 1999-2002 di indonesia telah terjadi alih fungsi lahan sawah untuk kepentingan diluar pertanian seluas 563.159 hektar (Kompas). Disamping itu permainan pengusaha di levelan internasional. Mereka memang sengaja untuk membuat jebakan impor (jebakan liberalisasi) untuk mendapatkan pasar yang luas. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 210 juta jiwa, indonesia merupakan lahan pasar yang sangat basah dan besar.
Penguatan Industri Nasional : Salah Satu Solusi Alternatif Untuk Mengatasi Bukan Hanya Krisis Pangan Tapi Juga Krisis Ekonomi Secara Umum Yang Melanda Indonesia
Untuk menjawab berbagai krisis ekonomi yang melanda indonesia termasuk krisis pangan maka salah satu hal utama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan kemandirian dan penguatan industri nasional. Kita harus mulai membangun industri yang berkemandirian. Kita harus memusatkan kekuatan seluruh negeri untuk membangun industri yang berbasis pertanian dan perikanan, pariwisata, dan pertambangan, yang merupakan keunggulan komparatif bangsa indonesia. Bukan saja ekstraksi (penggalian) sumberdaya alam itu yang dijalankan secara industrial, melainkan juga pengolahannya. Pemerintah Indonesia harus mengambil inisiatif untuk mengembangkan sektor-sektor ini menjadi industri yang tangguh.
Pemerintah harus mulai membangun beberapa BUMN yang bergerak di sektor pertanian, perikanan dan pariwisata, sambil memperkuat sektor pertambangan dengan membangun instalasi pengolahan bahan tambang mentah secara bertahap. Disadari bahwa industri pengolahan hasil tambang membutuhkan dana yang sangat besar, oleh karena itu, keuntungan dari sektor industri pertanian, perikanan dan pariwisata yang akan membiayainya. Industrialisasi pertanian dan perikanan tidak hanya ditempuh dengan mekanisasi (dimasukkannya permesinan), namun dengan mengorganisir petani dan nelayan kecil, membangun organisasi di tengah mereka, melatih dan bersama mereka menyusun program perekonomian kolektif-mandiri, dan meningkatkan kemampuan mereka mendayagunakan permesinan yang akan dipasok pada mereka. Program pertanian organik terpadu dapat dicoba di sektor pertanian – terdiri dari satu lahan yang luasnya minimal 30 hektar, dengan dilengkapi peternakan sebagai pemasok pupuk kandang, penangkaran predator pemakan hama, unit penggilingan dan pergudangan. Sementara di sektor perikanan dapat dibangun unit-unit penangkapan ikan terpadu – yang masing-masing terdiri dari kapal-kapal penangkap ikan berukuran 20-30 gross ton, unit pabrik es, unit pengalengan dan unit transportasi. Unit-unit usaha ini dikelola dengan model kepemilikan bersama antara pemerintah dan organisasi rakyat – tentu dengan modal sepenuhnya dari pemerintah. Dalam bidang pariwisata dapat didorong pembentukan unit-unit eko-turisme, pariwisata yang menjual kenikmatan alam yang terawat dengan baik. Misalnya saja, pembangunan Taman Nasional sebagai tempat tujuan wisata. Saat ini, pembangunan Taman Nasional masih bertentangan dengan kepentingan rakyat untuk memiliki tanah. Jika kelak Taman Nasional ini dikelola secara kolektif bersama organisasi-organisasi rakyat, diharapkan pertentangan ini tidak lagi terjadi.
Pembangunan industri pertanian, perikanan dan pariwisata ini harus dijadikan pijakan awal untuk mengumpulkan modal bagi pembangunan industri yang sifatnya industri dasar: pengolahan barang tambang, industri kimia dasar, dan industri permesinan. Kerjasama internasional dengan rejim-rejim progresif di negeri-negeri lain diharapkan mampu memberi akses pada teknologi, yang tidak akan kita dapatkan jika kita masih terus-menerus bergantung pada kedekatan politik dengan Amerika Serikat. (Manifesto Ekonomi PRP)
*Penulis adalah Anggota PRP Makassar & Koordinator Sentra Gerakan Progresif (SERGAP) Makassar
Senin, 23 Juni 2008
KRISIS PANGAN : AKIBAT DARI KESALAHAN FATAL YANG TERSISTEMATIS
Label:
Pertanian
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar